TIMESINDONESIA, JAKARTA – Otoritas kesehatan di Kerala, India, tengah siaga tinggi setelah lonjakan kasus Primary Amoebic Meningoencephalitis (PAM), infeksi otak yang sangat mematikan akibat Naegleria fowleri, atau yang dikenal dengan sebutan “amuba pemakan otak”.
Tahun ini, Kerala mencatat 61 kasus PAM dengan 19 di antaranya meninggal dunia, sebagian besar dalam beberapa pekan terakhir.
Menteri Kesehatan, Veena George, menyebut situasi ini sebagai tantangan serius bagi kesehatan publik. Jika sebelumnya kasus hanya muncul berkelompok di wilayah seperti Kozhikode dan Malappuram, kini infeksi terjadi sporadis di berbagai daerah. Pasien yang terjangkit pun beragam, mulai bayi berusia 3 bulan hingga lansia 91 tahun.
“Tidak seperti tahun lalu, kasus sekarang bukan dari satu sumber air, melainkan terpisah-pisah, sehingga menyulitkan investigasi epidemiologi,” ujarnya seperti dikutip dari NDTV, Kamis (18/9/2025).
PAM menyerang sistem saraf pusat dengan merusak jaringan otak, menyebabkan pembengkakan parah, dan dalam banyak kasus berakhir fatal. Infeksi ini jarang terjadi, tetapi biasanya menimpa anak-anak, remaja, atau dewasa muda yang sehat.
Amoeba ini berkembang di air tawar yang hangat dan tenang, seperti kolam atau danau. Penularan terjadi ketika air yang terkontaminasi masuk ke dalam hidung saat berenang atau menyelam. Dari sana, amoeba masuk melalui saraf penciuman hingga ke otak. Menelan air tidak menyebabkan penyakit.
Pemanasan global juga meningkatkan risiko, karena suhu air yang lebih tinggi dan meningkatnya aktivitas rekreasi di air tawar memperbesar kemungkinan kontak dengan amoeba. Penting dicatat, PAM tidak menular dari manusia ke manusia.
PAM memiliki angka kematian yang sangat tinggi karena sulit dikenali sejak dini. Gejalanya mirip meningitis bakteri, seperti sakit kepala, demam, mual, dan muntah. Pada banyak kasus, diagnosis PAM baru dipertimbangkan ketika kondisi pasien sudah memburuk akibat pembengkakan otak. Gejala biasanya muncul 1–9 hari setelah terpapar, dan penyakit berkembang sangat cepat, bahkan dalam hitungan jam hingga 1–2 hari.
Hampir semua pasien yang berhasil selamat adalah mereka yang didiagnosis sebelum infeksi mencapai otak. Hal ini menegaskan bahwa deteksi dini dan pengobatan cepat dengan kombinasi obat antimikroba sangat penting. Namun, karena penyakit ini sangat langka, sulit didiagnosis, dan berkembang cepat, hingga kini belum ada terapi yang benar-benar efektif.
Kasus pertama PAM di Kerala dilaporkan pada 2016. Hingga 2023, total hanya ada 8 kasus. Namun tahun 2024, jumlahnya melonjak menjadi 36 kasus dengan 9 kematian. Tahun ini, hingga September 2025, sudah tercatat 69 kasus dengan 19 korban jiwa, hampir dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Untuk mencegah penularan, masyarakat diimbau menghindari berenang atau mandi di air tawar yang tidak diolah, terutama kolam dan danau. Penggunaan penjepit hidung saat berenang, serta pembersihan dan klorinasi sumur atau tangki air secara rutin juga dianjurkan.
Pemerintah Kerala bekerja sama dengan National Centre for Disease Control (NCDC) untuk melakukan pengambilan sampel lingkungan demi melacak sumber kontaminasi. (*)
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Nikah Massal Warnai Milad ke-111 Al Irsyad Al Islamiyah Banyuwangi
Membangun Anak Muda Antikorupsi
BGN Komunikasikan dengan Sekolah Cegah Kasus Alergi Siswa Penerima MBG
UKWK Gandeng MGMP Matematika Kabupaten Malang, Gelar Lokakarya Prompt Engineering RPP dengan AI
Muhammadiyah Resmi Kelola UNISMA Bekasi, Ganti Nama UMI
Pesantren Jadi Garda Depan Program Makan Bergizi Gratis, Hebitren Luncurkan 1.000 Dapur
Begini Tanggapan Wabup Bondowoso Soal BTT dan Pengawasan Keuangan Desa
Perjuangkan Hak Korban KMP, DPRD Banyuwangi Minta Pemkab Terbitkan Surat Keterangan
Aturan Penggunaan Obat Tradisional di Indonesia
Menteri Koperasi: Kopdes Merah Putih Taruhan Ekonomi Desa