TIMESINDONESIA, PADANG – Pada 10 Juli 2018, di sebuah forum evaluasi anggaran, Sri Mulyani Indrawati melempar pernyataan yang membuat telinga banyak guru panas. “Tunjangan guru besar, tapi kualitas pendidikan belum meningkat,” katanya.
Kalimat itu singkat, namun daya ledaknya panjang. Berbagai organisasi guru menilai komentar itu merendahkan profesi mereka, seakan-akan persoalan mutu pendidikan berhenti di ruang kelas dan di pundak para pendidik.
Sri Mulyani menjawab dengan angka: belanja pegawai di sektor pendidikan, termasuk tunjangan sertifikasi, sudah menghabiskan porsi signifikan dari anggaran 20 persen APBN yang dijamin konstitusi.
Namun, skor siswa Indonesia dalam survei PISA OECD tak kunjung naik ke papan atas. Kritik itu, katanya, bukan untuk menekan guru, melainkan menuntut efektivitas.
Enam tahun berselang, nada yang sama kembali terdengar. Pada 4 September 2024, dalam rapat kerja dengan DPR, Menteri Keuangan itu melontarkan usul yang langsung memicu debat: kaji ulang kewajiban konstitusional 20 persen APBN untuk pendidikan.
Alasannya, proporsi besar itu kerap terjebak pada belanja rutin gaji, tunjangan, dan biaya operasional bukan pada inovasi dan pengembangan mutu. Sri Mulyani menyebut rigiditas ini membatasi ruang fiskal negara untuk membiayai sektor lain yang juga genting, seperti kesehatan dan infrastruktur.
Para pengkritiknya menilai wacana itu berbahaya, sebab Pasal 31 UUD 1945 dengan jelas menggariskan kewajiban tersebut sebagai benteng agar pendidikan tak jadi korban tarik-menarik politik anggaran.
Bagi kelompok guru, sinyal untuk “mengutak-atik” porsi 20 persen adalah tanda pemerintah bersiap mengurangi perhatian pada kesejahteraan mereka.
Babak ketiga terjadi pada 8 Agustus 2025. Dalam sebuah diskusi terbuka, Sri Mulyani bertanya, “Apakah semua gaji guru dan dosen harus dari uang negara?” Kalimat ini, meski dibungkus retorika, dibaca sebagai tanda bahwa pemerintah sedang mencari model pembiayaan alternatif.
Sejumlah ekonom pendidikan menangkap maksudnya: pembiayaan bersama dengan sektor swasta, atau mendorong perguruan tinggi dan sekolah mencari sumber dana mandiri. Namun bagi banyak guru dan dosen, pernyataan itu seperti ancaman bahwa negara bisa melepas tanggung jawab membayar mereka, atau setidaknya mengurangi porsinya.
Tiga momentum itu membentuk pola yang jelas. Dalam rentang tujuh tahun, Sri Mulyani secara konsisten mempertanyakan cara negara membiayai guru. Dari perspektif fiskal, konsistensi ini tak lepas dari reputasinya sebagai menteri keuangan yang konservatif dalam pengeluaran, menekankan efisiensi dan pengendalian defisit.
Anggaran pendidikan, yang sejak 2009 selalu minimal 20 persen APBN, menjadi salah satu pos terbesar dan paling sulit diubah. Sebagian besar tersedot untuk membayar gaji dan tunjangan lebih dari 3,3 juta guru di seluruh Indonesia.
Di mata Sri Mulyani, proporsi itu menggerus kemampuan pemerintah berinvestasi pada program peningkatan kualitas, riset, atau fasilitas pendidikan.
Masalahnya, bahasa fiskal jarang bisa bersaing dengan sensitivitas isu kesejahteraan guru. Setiap kali Sri Mulyani mengangkat soal ini, gaungnya lebih terdengar seperti kritik terhadap penghasilan guru daripada ajakan memperbaiki tata kelola anggaran.
Guru, yang sering bekerja dalam kondisi fasilitas terbatas, melihat kritik itu sebagai tuduhan bahwa mereka tak becus mengajar, padahal masalah mutu juga bersumber dari kurikulum, manajemen sekolah, dan ketimpangan infrastruktur pendidikan.
Data yang kerap dikutip Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa dari total anggaran pendidikan 2024 sebesar sekitar Rp660 triliun, lebih dari 60 persen habis untuk belanja pegawai. Sisanya terbagi untuk bantuan operasional sekolah, beasiswa, dan pembangunan sarana.
Di sisi lain, survei PISA 2022 menempatkan Indonesia di peringkat ke-69 dari 81 negara dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. Bagi Sri Mulyani, jurang antara belanja dan capaian ini adalah alasan kuat untuk merombak pola penganggaran. Namun di luar ruang rapat, wacana itu sering disederhanakan menjadi “menteri keuangan mau memotong gaji guru”.
Secara politik, kritik berulang terhadap belanja guru membawa risiko. Guru adalah kelompok pemilih besar, tersebar di seluruh daerah, dan punya pengaruh sosial. Isu kesejahteraan mereka mudah berubah menjadi isu elektoral.
Wacana revisi 20 persen APBN berpotensi menimbulkan perlawanan politik, baik dari partai maupun kelompok masyarakat sipil. DPR, yang ikut mengawasi pelaksanaan amanat konstitusi, juga cenderung berhati-hati agar tidak terlihat mengurangi anggaran pendidikan.
Di sisi lain, wacana pembiayaan bersama atau mencari sumber pendanaan di luar APBN memunculkan dilema baru. Jika guru di sekolah negeri atau dosen di perguruan tinggi negeri harus mencari sumber gaji dari pihak non-negara, risiko ketimpangan akan membesar.
Sekolah di kota besar mungkin mampu menarik sponsor atau dana masyarakat, sementara sekolah di daerah terpencil akan tertinggal lebih jauh.
Tiga episode pernyataan Sri Mulyani ini mencerminkan tarik-menarik abadi antara idealisme pendidikan sebagai hak warga negara dan realisme fiskal negara yang terbatas. Dalam pandangan menteri keuangan, setiap rupiah harus diukur hasilnya, dan anggaran besar tanpa hasil signifikan adalah kemewahan yang tak bisa dipertahankan.
Namun dalam pandangan banyak guru, angka-angka itu hanya separuh cerita. Separuh lainnya adalah dedikasi yang tak bisa diukur dengan PISA atau neraca anggaran.
Pertanyaannya kini: apakah pemerintah berani mengambil langkah struktural untuk membenahi tata kelola anggaran pendidikan tanpa mengorbankan kesejahteraan guru? Atau, apakah narasi “efisiensi” akan terus dibaca sebagai “pemangkasan” oleh para pendidik yang sudah lama merasa hidup mereka diabaikan?
Di tengah perdebatan ini, satu hal yang pasti: hubungan antara kementerian keuangan dan guru selalu berada di wilayah sensitif. Setiap kata bisa memicu reaksi berantai, setiap wacana bisa menjadi headline, dan setiap angka dalam APBN bisa menjadi bahan bakar politik.
Sri Mulyani tampaknya sadar akan itu. Tapi seperti tiga pernyataan yang sudah terekam sejak 2018, ia tetap memilih bicara blak-blakan. Mungkin karena bagi seorang menteri keuangan, diam justru lebih berisiko daripada berdebat di ruang publik.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Bukan Kaleng-kaleng, Harga Mulai Rp325 Juta: AION UT Punya Garansi Seumur Hidup!
Mimpi Menjadi Negara Paripurna
Bali Dinyatakan Berstatus Darurat selama Sepekan
Antara Ijazah dan Lapangan Kerja yang Tak Nyata
Skandal Dana Diklat PKN Tingkat II: Pejabat Pemkot Banjar Terlibat Dugaan Penilepan Rp125 Juta
Uji Kelayakan Calon Hakim Agung, Anggota DPR Tanya Diana Malemita Ginting soal Pajak Karbon
Banjir Bali, Tim SAR Gabungan Evakuasi 142 Korban Selamat
Livoli Divisi Utama 2025, LavAni Kembali Menangkan Laga Kedua
PORDA XVII DIY Resmi Dibuka di Gunungkidul, Bupati Sleman Targetkan Juara Umum Empat Kali Beruntun
Dishub Jatim: Koridor VII Trans Jatim Siap Beroperasi Oktober 2025