TIMESINDONESIA, JAKARTA – Scroll, tertawa, hilang beban, tapi pelan-pelan otak kita membusuk. Satu swipe terasa ringan. Dua swipe menghibur. Tapi tiga jam kemudian, kita hanya terbaring diam, otak lelah tanpa tahu mengapa.
Inilah wajah halus dari penjajahan modern: kita tidak lagi dijajah oleh tentara, melainkan oleh layar. Kita tidak diperintah untuk tunduk, tapi diberi kenyamanan yang tak bisa kita tolak. Dan kita, tanpa sadar, menerimanya dengan sukarela.
Inilah fenomena brain rot: saat kemampuan berpikir kita rusak secara perlahan, dibungkus dalam kenyamanan yang nikmat. Ironisnya, banyak dari kita tidak menyadari sedang mengalaminya. Kita tidak merasa rusak, karena rasanya menyenangkan.
Kita tidak malas, kita terlalu nyaman. Kita tidak bodoh, tapi hanya terus-menerus ditarik oleh algoritma yang sangat tahu kapan kita sedang rapuh dan butuh pelarian. TikTok, Reels, YouTube Shorts, semuanya tak butuh tenaga atau pemikiran serius. Mereka menawarkan hiburan tanpa syarat.
Ketika kita lelah belajar, penat dengan pekerjaan, atau dihimpit ekspektasi sosial, media sosial hadir seperti sahabat baik yang tidak pernah menuntut apa pun. Ia menawarkan kenyamanan, dan dari kenyamanan itulah otak kita pelan-pelan mulai dimanjakan hingga tumpul.
Kenyamanan yang terlalu panjang akan membius kesadaran. Kita tak merasa perlu berubah, sebab tidak ada rasa bersalah. Kita tertawa, kita “healing”, padahal perlahan kita tenggelam dalam lautan dopamine yang membuat pikiran kita tumpul dan reaktif. Inilah brain rot yang paling berbahaya: saat kita tidak merasa sedang rusak.
Kondisi ini bukan semata kesalahan pribadi. Dalam diam, kita sedang menghadapi bentuk baru dari penjajahan: kolonialisme digital. Dulu, kita dijajah karena sumber daya alam. Hari ini, kita dijajah karena sumber daya perhatian.
Perusahaan seperti Meta, ByteDance, dan Google memanen perhatian kita lewat layar demi keuntungan iklan. Mereka menjajah waktu terbaik kita, daya pikir kita, bahkan emosi kita, dan kita rela menyerahkannya karena itu terasa menyenangkan.
Lebih buruk lagi, kolonialisme ini tidak perlu kekerasan. Ia cukup memberi kita kenyamanan. Dan kita menyerahkan kendali pikiran kita, bahkan tanpa paksaan.
Sayangnya, sistem pendidikan dan keluarga terkadang juga ikut memperparah keadaan. Sekolah kita masih sibuk memberi tugas dan mengejar kurikulum, tanpa benar-benar peduli apakah murid paham atau hanya pasrah. Di rumah, orang tua yang kelelahan lebih sering menyerahkan gawai ke anak sebagai pereda tangis dan media pelarian.
Dalam wawancara Kompas (2025), pakar pendidikan Fitria Anis Kurly menyebut anak-anak hari ini mengalami shallow reading, mereka membaca cepat, tapi pemahamannya dangkal.
Akibatnya, otak anak terbiasa dengan ritme konten instan, sehingga kesulitan fokus dan berpikir mendalam. Bahkan ketika sudah mandi pagi dan siap belajar, tubuh tetap lesu karena terlalu lama menatap layar semalaman.
Di sinilah pentingnya kesadaran pribadi. Kita perlu menyadari bahwa rasa nyaman yang ditawarkan oleh media sosial dan teknologi bukan selalu bentuk anugerah, melainkan bisa menjadi jebakan yang membius dan melemahkan daya pikir.
Mau sekuat apa pun sistem dirancang, blended, hybrid, bahkan experiential learning, semuanya akan menemui jalan buntu jika individu yang menjadi sasaran perubahan belum memiliki kehendak dari dalam dirinya.
Kalau kita terus-menerus menyalahkan diri karena tidak produktif, padahal yang kita lawan adalah raksasa teknologi global, itu bukan fair fight. Ini bukan hanya soal disiplin diri, tapi soal sistem yang memang dirancang untuk membuat kita lelah dan ketagihan.
Untuk keluar dari brain rot, kita perlu pendekatan yang tidak biasa. Bukan motivasi klise, bukan hanya ajakan “ayo lebih produktif”, tapi revolusi kesadaran.
Kita perlu semacam tazkiyatun nafs digital, pembersihan diri dari racun algoritma. Kita perlu kembali ke pola pikir reflektif: belajar berenang di laut digital, bukan tenggelam di dalamnya.
Bukik Setiawan, Ketua Guru Belajar Fondation, dalam wawancaranya dengan Kompas (2025) menyarankan kita untuk menghidupkan kembali slow thinking, yaitu waktu-waktu hening untuk merenung, membangun narasi, bukan hanya menerima informasi. Literasi digital juga harus naik level, bukan sekadar tahu cara pakai, tapi tahu cara menolak dan memilah.
Kita sering menyalahkan diri sendiri karena merasa malas, tak fokus, atau tak punya motivasi. Tapi sebetulnya, kita sedang berada di bawah gempuran sistem digital yang memang dirancang untuk membuat kita diam, nyaman, dan tunduk. Brain rot bukan penyakit pribadi, ia epidemi yang disembunyikan dalam bentuk hiburan.
Maka berhentilah percaya bahwa produktivitas adalah segalanya. Yang lebih penting hari ini adalah kesadaran. Kesadaran bahwa kita sedang dijajah oleh kenyamanan.
Kesadaran bahwa kita bisa melawan, bukan dengan amarah, tapi dengan memilah terhadap apa yang kita tonton, baca, pikirkan, dan diamkan.
Menutup layar bukan berarti mematikan dunia. Bisa jadi, itulah satu-satunya cara untuk kita menyelamatkan isi kepala.
***
*) Oleh : Rikza Anung Andita Putra, Mahasiswa aktif Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Unpacking the Beer Belly: What It Really Is and How to Get Rid of It
Kesehatan Mulut Buruk Picu Penyakit Serius
Joe Taslim Returns as Noob Saibot in Mortal Kombat 2
Sarapan: Benarkah Wajib atau Hanya Mitos?
Suara Tenant UMKM di Ekspectanica 2025 Surabaya, Mulai Antusiasme Hingga Asa Perbaikan
Memupuk Emotional Bank Account di Era Digital
Bandung untuk Palestina, Ali Nurdin dan Advocate Squad Persatukan Tokoh Lintas Agama
Ekspectanica Carnival 2025 Suguhkan Musik dan Hiburan Wajah Baru di Kota Surabaya
Hari Koperasi, Sekda Banjarnegara Serahkan SK AHU Kopdes Merah Putih
Marak Temuan Beras Oplosan, Begini Langkah Antisipasinya Agar Tak Merugikan