TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa hari terakhir, publik mempertanyakan putusan hakim mengenai kasus Impor Gula mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong. Ia tiba-tiba terseret dalam pusaran kasus yang mengancam reputasinya dan juga membuka kotak pandora pertanyaan besar besar bagaimana hukum bekerja di tengah dinamika sosial dan politik Indonesia.
Tom dituduh melakukan tindak pidana korupsi, melanggar undang-undang korupsi karena kebijakan impor gula yang ia lakukan. Putusan hakim yang menghukum mantan Mendag itu lebih dari 4 tahun, yang menganggap banyak dugaan permainan di dalam putusan tersebut.
Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara dengan denda 750 juta, lebih ringan dari tuntutan jaksa, namun tetap putusan tersebut dipertanyakan karena hakim menyatakan Tom tidak menikmati uang hasil korupsi sedikitpun.
Bahkan ia tidak dibebankan uang pengganti. Dan ini menjadi sebuah pertanyaan besar jika seseorang tidak memperkaya dirinya sendiri, lalu di mana letak korupsinya?
Pertimbangan memberatkan yang disebut oleh Hakim adalah Tom Lembong “mengedepankan ekonomi kapitalis” dan “mengetahui izin impor gula melanggar aturan”. Jika kita lihat pertimbangan maka sangat ironis karena seorang menteri yang ditugaskan mengatur ekonomi justru divonis karena pendekatan ekonominya.
Di sisi lain, dalam proses persidangan, Tom Lembong dinilai kooperatif, sopan selama persidangan dan tidak mempersulit proses hukum. Terlihat kontradiktif bukan?
Adanya Kejanggalan dalam Putusan
Dari sini, saya mulai melihat kejanggalan yang paling menyolok dan membuat publik bertanya-tanya Pertama mengenai Mens Rea atau soal nilai jahat, dalam hukum pidana niat jahat merupakan elemen yang fundamental untuk membuktikan suatu tindak pidana.
Jika hakim sendiri menyatakan Tom Lembong tidak memiliki niat jahat dan tidak menikmati hasil korupsi, bagaimana bisa ia divonis bersalah? dan ini menjadi perdebatan di kalangan pakar hukum apabila pelanggaran administratif tanpa niat memperkaya diri apakah sudah cukup untuk menjerat dengan pasal korupsi?
Kedua, angka kerugian negara tidak jelas alias berubah-ubah. Kerugian negara Jaksa mendakwa kerugian negara mencapai Rp 578 miliar namun hakim memutuskan kerugian riil hanya Rp 194,72 miliar.
Perbedaan yang sangat besar ini memunculkan pertanyaan tentang akurasi audit keuangan dan potensi adanya dugaan manipulasi angka. Dalam sudut pandang sosiologis, tidak konsistennya kerugian di atas dapat merusak legitimasi institusi hukum di mata publik.
Ketiga, saya melihat adanya dugaan kriminalisasi kebijakan. Jika Tom Lembong sebagai Menteri atau pembantu presiden saja bisa divonis pidana hanya karena kebijakan yang dianggap keliru dan menyimpang dari prosedur tanpa adanya niat jahat bisa jadi preseden buruk.
Hal tersebut bisa berdampak pada pejabat di masa yang akan datang mungkin akan takut mengambil putusan yang berani demi kemajuan bangsa karena khawatir akan dikriminalisasi, mereka akan cenderung main aman dan ini dapat menghambat inovasi dan kemajuan.
Saya melihat, kejadian ini sebagai sinyal yang bahaya yang dapat melumpuhkan inisiatif birokrasi. Beberapa pihak melihat dalam kasus ini sangat bernuansa politis apalagi setelah Tom Lembong bergabung dalam tim kampanye salah satu Calon Presiden pada pemilu lalu.
Retaknya Kepercayaan dan Iklim Ketakutan
Dampak dari putusan kasus Tom Lembong kepada masyarakat adalah dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap Negara dan Lembaga Penegak Hukum. Karena seorang tokoh yang dianggap bersih dan berintegritas saja bisa tersandung dalam kasus ini.
Muncul keraguan akan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi secara transparan dan adil. Skeptisme ini bisa berujung pada menurunnya partisipasi publik pada program pemerintah dan dapat menghambat investasi.
Berikutnya, di kalangan birokrat bisa muncul iklim ketakutan, karena pejabat dihantui dengan kriminalisasi karena kebijakan yang mereka ambil. Para birokrat akan cenderung menghindari risiko padahal dalam kemajuan negara diperlukan kebijakan yang berisiko dan dalam jangka panjang dapat menghambat pertumbuhan dan pembangunan negara.
Mencari Keadilan di Tengah Badai
Saya menilai kasus yang dialami oleh Tom Lembong bukan hanya sekadar drama hukum biasa, akan tetapi merupakan narasi kompleks yang menyoroti persimpangan hukum, politik dan struktur sosial.
Ini adalah cerminan bagaimana dinamika kekuasaan dapat memengaruhi proses peradilan, bagaimana kepercayaan publik bisa begitu rapuh di hadapan inkonsistensi, dan bagaimana sebuah putusan hukum dapat memiliki implikasi sosial yang jauh melampaui ruang sidang.
Kasus ini mengingatkan kita akan urgensi untuk menjaga independensi peradilan yang mutlak, memastikan transparansi dalam setiap proses hukum dan secara tegas melindungi pejabat dari ancaman kriminalisasi kebijakan yang tidak berdasar.
Langkah ini harus dilakukan agar masa depan para pemimpin yang berani mengambil keputusan strategis demi kesejahteraan rakyat tanpa dihantui ketakutan akan jerat hukum yang ambigu dan bermuatan politis. (*)
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
7 Must-Visit Spots in Malang: From Hidden Springs to Waterfalls
Coban Sewu: A Thrilling Encounter with the Niagara of East Java
Menyemai Harapan melalui Pendidikan Positif
'A Slice of Europe In Uluwatu’: Bartolo Curi Perhatian Media Asia Pasifik di Dunia Kuliner Bali
Yangwang U7 Tandai Capaian BYD Produksi 13 Juta Unit Mobil Listrik
Marcus Rashford Lolos Tes Medis di Barcelona, Siap Gabung Sebagai Pemain Pinjaman
Dua Arah Jalan Perdagangan
Imbang Lawan Malaysia, Timnas U-23 Lolos ke Semifinal ASEAN U-23 Championship 2025
Pemerintah Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 5% di Akhir 2025, Didorong Kesepakatan Tarif AS-Indonesia
Bupati Sleman Apresiasi Program KDMP, Komitmen Kawal Implementasi di Desa