TIMESINDONESIA, SEMARANG – Pernah tidak merasakan bahwa hidup ini seolah sedang melakukan lomba lari, dimana garis finishnya tidak kelihatan? Aktivitas setiap hari hanya melihat timeline yang berisikan motivasi hidup, sehingga membuat perasaan menjadi insecure.
Kemudian banyak bisikan dari sana-sini perlu “pensiun dini sebelum umur 30 tahun”, ada pula yang update status “cuan dari crypto semalam”, ada pula yang berhasil “beli rumah secara tunai hasil panen saham”. Sekilas terlihat keren, mudah, glamor dan bikin iri hati.
Tidak cukup itu, masih ada banyak lagi, deretan konten healing ke tempat-tempat wisata hampir sebulan sekali. Staycation di hotel yang Instagramable, atau video unboxing barang terbaru dengan narasi “wajib punya” biar tidak dianggap ketinggalan zaman. Media sosial pada akhirnya menjadi patokan standar hidup serba tinggi, mewah dan instant.
Fenomena tersebut faktanya melahirkan istilah baru yaitu financial anxiety. Anak muda, khususnya Gen Z, merasakan hidupnya tertinggal dan jauh dari standar hidup. Hidupnya terasa hanya jalan ditempat, sementara orang lari begitu kencang.
Stres pikiran pun muncul disaat melihat status atau kabar jika ada teman memperlihatkan portofolio saham atau crypto yang hijau terang, sementara dirinya sendiri masih pusing memikirkan cicilan setiap bulan yang tidak kunjung selesai.
Hidup seolah menjadi perlombaan tanpa garis akhir. Karena hanya memikirkan siapa yang lebih cepat kaya, siapa yang bisa pensiun dini, siapa yang punya barang lebih mewah terlebih dahulu.
Konsep financial freedom ala barat memang begitu menggoda. Siapa yang tidak mau mempunyai passive income yang mengalir deras bagaikan air hujan, bisa liburan sesuka hati, tidak perlu kerja keras, bahkan bisa pensiun dini pada usia yang masih muda? Seakan hidup ini bisa dijalani dengan santai tanpa terbebani finansial.
Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah bagaimana cara mencapai semua itu seringkali membuat orang semakin tertekan. Banyak yang rela bekerja sampai lembur, mengikuti kursus investasi dengan biaya mahal, mengambil pinjaman produktif dengan bunga tinggi, atau memilih menempatkan semua uangnya pada instrument yang memiliki resiko tinggi dengan harapan cepat kaya dalam sekejap.
Bukannya merdeka, tapi semakin terjajah. Utang kian menumpuk, pikiran tidak tenang dan kebutuhan hidup selalu tidak pernah cukup. Lucunya, financial freedom yang katanya akan membawakan kebahagiaan justru malah kebalik menyerang tiada ampun. Rasa cemas, iri hati, dan takut ketinggalan menjadi menguasai pikiran dan perasaan.
Berbagai tekanan dan masalah yang menimpa Gen Z, Islam selalu hadir memberikan dan membawa perspekti yang selalu menyejukan dan menenangkan sesuai realiatas yang ada. Yaitu konsep finansial falah yang ditawarkan Islam sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan di atas.
Jika kita melihat konsep financial freedom yang diajarkan barat tentu leih focus pada kebebasan konsumsi dan akumulasi harta tanpa ada batasnya. Berbeda dengan finansial falah yang menawarkan pada penekanan keseimbangan dunia dan akhirat. Setidaknya ada tiga pondasi utama yang harus dijadikan pegangan dalam melakukan finansial falah untuk Gen Z ini.
Pertama, menerapkan sifat qana’ah. Dengan menerapkan sifat qana’ah ini, sejatinya mengukur jumlah kekayaan itu tidak hanya soal angka miliaran rupiah. Melainkan menata hati yang tenang dengan apa yang sudah dimiliki.
Sehingga akan membuat diri kita bebas dari membandingkan kesetaraan sosial dengan orang lain, karena sifat tersebut hanya akan membuat capek pikiran dan perasaan.
Kedua, membebaskan diri dari utang riba. Riba memang memiliki dampak yang luar biasa pada finansial dan juga spiritual. Menikmati hidup tanpa menanggung hutang dan riba tentu akan merasakan nikmatnya hidup tanpa dihantui cicilan berbunga yang terus berjalan.
Bebas dari riba ibarat memiliki ruang napas yang lega. Kita bisa menikmati hidup tanpa adanya tekanan, tanpa takut akan dikejar debt collector.
Ketiga, kemampuan untuk berbagi. Dengan memegang konsep yang ketiga ini, kita sebagai manusia (Gen Z) akan mempunyai jiwa sosial yang tinggi. Karena akan ingat bahwa didalam harta yang kita miliki ada hak orang lain.
Hak tersebut bisa disalurkan melalui zakat, infak dan sedekah. Memiliki jiwa suka berzakat, berinfak dan bersedekah akan menumbuhkan rasa syukur, mengikis sifat iri hati dan menjadikan kita menjalankan ujian apakah kita menjadi tuan atas harta, atau harta yang menjadi tuan dari kita.
Ketiga konsep yang ditawarkan dalam islam di atas tentu akan sangat tepat jika kita sebagai Gen Z tidak hanya menanamkan teori itu, tapi juga dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kunci yang perlu dilakukan adalah menanamkan pola pikir, bagaimana kita memandang uang, membelanjakan, mengelola dan tidak lupa untuk berbagi.
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar di FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Tambah Penuh! 39 Napi dari Rutan Surabaya Dipindahkan ke Lapas Bondowoso
Diangkat Sebagai Dosen S-3 UMJ, Oki Setiana Dewi Mengaku Bahagia
Pemkab Majalengka Optimis Target PAD 2025 Tercapai, Rumah Sakit Jadi Penopang Utama
Bupati Ponorogo Serahkan 394 Sertifikat Tanah Milik Warga Desa Glinggang
Potensi Ekonomi Digital Syariah Indonesia
Bakesbangpol Banyuwangi Gandeng Pemuda dan Mahasiswa Bahas Kajian Strategis Daerah
Tak Satupun Negara di Dunia yang Bisa Hentikan Kekejian Israel
KPU Batalkan Peraturan Baru yang Membatasi Informasi Publik Capres dan Cawapres
Kabar Jelang Liga Champions: PSG Lega, Arsenal Krisis Cedera
Ratusan Peserta Ramaikan Lomba Desain Batik 2025 di Lamongan