TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Kalau kita bicara tentang “santri”, yang terlintas di benak banyak orang biasanya adalah sosok bersarung, berpeci, dan hidup di pesantren dengan kitab kuning di tangan. Tapi Hari Santri 2025 ini, mari kita melangkah lebih jauh dari citra klasik itu.
Santri bukan hanya penjaga tradisi keagamaan, tetapi juga agen perubahan yang ikut menyalakan nalar membangun negeri dari masa perjuangan kemerdekaan hingga Indonesia menatap peradaban dunia.
Tanggal 22 Oktober yang kini kita peringati sebagai Hari Santri bermula dari sebuah peristiwa monumental: Resolusi Jihad 1945 yang digelorakan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Seruan jihad itu bukan semata-mata soal angkat senjata, tapi tentang kesadaran moral bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah bagian dari ibadah. Santri pada masa itu tidak hanya berperang, tetapi juga berpikir menyusun argumen teologis untuk menegaskan bahwa melawan penjajahan adalah kewajiban.
Inilah titik awal lahirnya nalar kebangsaan santri. Mereka memadukan keilmuan agama dengan tanggung jawab sosial dan politik. Santri tak hanya mengaji di surau, tapi juga berdiskusi tentang tata negara, ekonomi, hingga etika publik. Seperti dikatakan KH Sahal Mahfudz, “Fikih sosial” adalah contoh nyata bagaimana ilmu agama diolah agar bisa menjawab persoalan kebangsaan modern.
Masuk era digital, santri menghadapi tantangan baru. Pesantren tak lagi berdiri di tepi sawah atau di bawah pohon besar, melainkan juga hadir di ruang maya dari kelas daring, kanal YouTube, hingga media sosial.
Ini bukti bahwa tradisi keilmuan santri bersifat adaptif. Mereka bisa menulis jurnal akademik sekaligus mengisi konten dakwah digital tanpa kehilangan ruh keilmuannya.
Perubahan ini mengingatkan kita pada gagasan nalar bayani, burhani, dan irfani dari Mohammed Abed al-Jabiri. Jika dulu santri lebih dekat pada nalar bayani (tekstual dan normatif), kini mereka belajar berpikir burhani (rasional dan empiris) tanpa meninggalkan irfani (spiritualitas). Perpaduan tiga nalar ini menjadikan santri bukan hanya ahli ibadah, tapi juga ilmuwan, pengusaha, dan pemikir kebangsaan.
Kita bisa melihatnya dalam sosok-sosok seperti KH Ahmad Shiddiq yang menggagas hubungan harmonis antara Islam dan Pancasila, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memperluas tafsir keislaman dalam bingkai kemanusiaan, hingga KH Maimoen Zubair yang menjaga otoritas keilmuan dengan keteduhan moral. Mereka semua santri yang berpikir global tanpa meninggalkan akar lokal.
Membangun negeri bukan hanya urusan insinyur atau birokrat. Itu juga tugas moral dan intelektual kaum santri. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia punya modal sosial luar biasa: kemandirian, solidaritas, dan kesederhanaan. Modal ini bisa menjadi fondasi bagi pembangunan yang berkeadilan.
Contohnya, banyak pesantren kini mengembangkan ekonomi berbasis komunitas dari koperasi, pertanian organik, hingga BMT (Baitul Maal wat Tamwil). Ini bukan sekadar usaha ekonomi, tetapi bagian dari konsep maslahah ammah (kemaslahatan umum) yang berakar pada etika Islam. Dalam istilah lain, ini adalah bentuk “ekonomi nalar santri”: bergerak dari nilai, bukan sekadar angka.
Tak berhenti di situ, santri juga berperan dalam pendidikan karakter bangsa. Di tengah krisis moral dan disinformasi, nilai-nilai pesantren seperti ikhlas, tawadhu’, sabar, dan ngalap berkah menjadi vitamin sosial yang langka. Santri belajar bahwa ilmu harus disertai adab, dan kebebasan harus disertai tanggung jawab.
Indonesia saat ini sedang menapaki fase baru: menjadi bagian dari percaturan global, baik di ekonomi, teknologi, maupun diplomasi budaya. Di sinilah santri punya peran strategis.
Dunia membutuhkan contoh bahwa agama bisa menjadi kekuatan peradaban, bukan sumber konflik. Santri, dengan tradisi Islam Nusantaranya, membawa wajah Islam yang ramah, inklusif, dan berkeadaban.
Gus Dur pernah berkata, “Kita tidak hanya harus menjadi bangsa yang besar, tetapi juga bangsa yang beradab.” Kalimat ini seolah menjadi pesan moral bagi seluruh santri abad 21.
Menjadi bagian dari peradaban dunia bukan berarti kehilangan jati diri, melainkan memperkaya dunia dengan nilai-nilai luhur yang tumbuh dari tanah pesantren: toleransi, gotong royong, dan cinta tanah air.
Dalam konteks globalisasi, santri bisa menjadi duta perdamaian. Mereka mampu berdialog dengan berbagai budaya tanpa kehilangan akarnya. Sebab, seperti diingatkan Nurcholish Madjid, “Islam datang bukan untuk menghapus kebudayaan lokal, tapi untuk memuliakannya.”
Hari Santri 2025 seharusnya bukan hanya seremoni bendera atau parade sarung, tapi momentum refleksi: bagaimana santri memimpin revolusi keilmuan untuk kemajuan bangsa.
Dengan jumlah pesantren lebih dari 40 ribu dan jutaan santri di seluruh Indonesia, bayangkan jika semua digerakkan dalam bidang riset, teknologi hijau, atau ekonomi digital berbasis nilai Islam. Maka, pesantren akan menjadi “laboratorium peradaban” yang tak kalah dari kampus-kampus modern.
Peran ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045: membangun manusia unggul berakhlak mulia. Nalar santri yang terbentuk dari keseimbangan antara logika dan etika, ilmu dan amal, adalah bekal penting untuk mengawal Indonesia menuju peradaban dunia.
Santri sejatinya adalah penjaga api peradaban mereka mungkin hidup sederhana, tapi pikirannya melintasi batas zaman. Dari langgar di pelosok hingga forum dunia, nilai-nilai santri tetap relevan: ngaji, ngamal, nguri-uri akhlak.
Hari Santri 2025 mengingatkan kita bahwa membangun negeri tidak cukup dengan beton dan gedung, tapi juga dengan nalar dan nurani. Dan selama di negeri ini masih ada santri yang mengaji dengan tekun dan berpikir dengan jernih, Indonesia tidak akan kehilangan arah menuju peradaban dunia yang berkeadilan dan berkeadaban.
“Santri bukan hanya pewaris ulama, tetapi juga pewaris masa depan.” Sebab, nalar membangun negeri lahir dari hati yang tercerahkan.
***
*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Ribuan Peserta dari Berbagai Daerah Meriahkan Ijen Marching Festival Banyuwangi
Sayur Organik Hasil Pertanian Warga Binaan Lapas Bondowoso Dilirik Program MBG
Nominasi Piala Citra 2025, Morgan Oey Kandidat Pemeran Utama Pria Terbaik
Wali Kota Kediri Tekankan Pentingnya Pakta Integritas fondasi dasar dari kepercayaan publik
BK UM Malang Dorong Guru SD Kuasai Pendekatan SLA untuk Kembangkan Well-Being Siswa
Kasus Suami Bunuh Istri di Banyuwangi, Tetangga Kaget Karena Terlihat Seperti Keluarga Harmonis
UM Ajak Siswa Sabilillah Kenali Dunia Baru Melalui Bahasa Jerman
Gandeng UB, BWI Dorong Ekosistem Wakaf Produktif di Kampus
Indonesia–Arab Saudi Perkuat Standar Kesehatan Jamaah Haji
Yogyakarta Bawa Rasa Pulang ke Ibu Kota Lewat Festival Remember November 2025