TIMESINDONESIA, MALANG – Belajar sambil main game. Itu bukan sekadar slogan, tapi sudah jadi kenyataan di SD Muhammadiyah 4 Malang.
Lewat sentuhan teknologi, siswa inklusi —khususnya slow learner—kini punya cara baru memahami pelajaran. Seru, interaktif, dan bilingual.
Adalah tim dari Institut Teknologi dan Bisnis Asia Malang yang menginisiasi program ini. Mereka menggandeng sekolah mitra untuk menjalankan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) dengan tajuk “Penguatan Nasionalisme pada Era Digital melalui Game Mobile Edukatif Bilingual bagi Siswa Inklusif”.
Program ini digawangi Abdul Aziz Muslim, S.Psi., M.Psi., bersama dua koleganya: Widya Adhariyanty Rahayu, S.Pd., M.Pd., dan Suastika Yulia Riska, S.Pd., M.Kom. Kombinasi latar belakang psikologi, pendidikan, dan informatika membuat ide game edukatif ini punya pijakan yang kokoh.
Game yang mereka buat sederhana tapi tepat sasaran. Materinya seputar pengenalan baju-baju adat nusantara. Disajikan dalam bentuk gambar dan suara, lengkap dengan pilihan bahasa Indonesia dan Inggris.
Dengan cara itu, anak-anak diajak mengingat lewat visual sekaligus auditori. Bagi slow learner, metode ini efektif. Mereka tidak hanya belajar baju nusantara, tapi juga mengasah keterampilan bahasa.
“Game ini kami rancang agar siswa termotivasi belajar dengan cara yang menyenangkan,” jelas Abdul Aziz.
Tak hanya siswa yang mendapat manfaat. Guru pun ikut terangkat. SD Muhammadiyah 4 Malang mendapat pelatihan khusus supaya para pengajar bisa memanfaatkan game ini sebagai alat bantu.
“Pendidikan inklusif tidak boleh ketinggalan zaman. Guru harus bisa menggunakan teknologi untuk membuat suasana kelas lebih hidup,” tambah Widya.
Dengan pelatihan itu, guru tidak sekadar mengandalkan metode konvensional, tapi juga punya opsi kreatif yang ramah anak.
Program PKM ini tidak berdiri sendiri. Ada sokongan dari Direktorat Riset, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Pengembangan (DPPM) Kemendikti Saintek. Dukungan penuh juga datang dari Institut Teknologi dan Bisnis Asia Malang.
“Terima kasih kepada semua pihak yang sudah mendukung program ini. Harapan kami, inovasi kecil ini bisa jadi model pembelajaran inklusi di sekolah lain,” kata Abdul Aziz.
Bila dikembangkan lebih luas, game ini bisa jadi jalan tengah antara teknologi dan dunia pendidikan. Anak-anak yang sering dianggap sulit mengejar materi bisa mendapat pengalaman belajar yang lebih ramah. Sekolah pun terbantu karena punya referensi metode baru.
Apalagi, tren pendidikan saat ini menuntut inklusivitas. Semua anak berhak mendapat kesempatan belajar yang sama. Kehadiran game bilingual ini menjadi bukti bahwa teknologi bisa dipakai bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk meruntuhkan hambatan belajar.
“Kalau anak-anak sudah merasa senang, maka belajar pun jadi lebih mudah,” tutup Aziz.
Lewat inovasi ini, SD Muhammadiyah 4 Malang memberi contoh bahwa pendidikan inklusi tidak sekadar jargon. Ia bisa diwujudkan dengan kreativitas, kolaborasi, dan tentu saja keberanian mencoba hal baru. (*)
Pewarta | : Anugrah Dany Septono |
Editor | : Deasy Mayasari |
No Other Choice, Film Penuh Misteri Tayang Mulai 1 Oktober di Bioskop Indonesia
Gunung Lorokan, Pilihan Tepat untuk Trekking Santai di Mojokerto
Bisa Jadi Tanda Gangguan Jantung, Dokter: Waspada Nyeri Dada Saat Olahraga Lari
Pabrikan Togg Asal Turki Siap Ramaikan Pasar Mobil Listrik di Eropa
Djimon Hounsou Gabung Film Reboot Highlander Bareng Henry Cavill
Endhog-endhogan: Celebrating the Muslim Easter van Java
Vinicius dan Mbappe Masuk Nominasi Ballon d'Or 2025, Real Madrid Tetap Ragu Hadir
Orang Tua Diminta Tak Lepas Tanggung Jawab Anak di Daycare
Ketika Rakyat Menjadi Sapi Perah bagi Negara
Livoli Divisi Utama 2025, Kemenangan LavAni 3-0 Dipersembahkan untuk Ultah ke-76 SBY