TIMESINDONESIA, SIDOARJO – DPRD Kabupaten Sidoarjo menjadwalkan rapat paripurna pengesahan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2025 pada Kamis (11/9/2025) siang.
Hal ini kembali menimbulkan pro dan kontra, sebab LPP APBD 2024 disahkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada), bukan Peraturan Daerah (Perda). Jika DPRD tetap ngotot melakukan paripurna pengesahan bisa berisiko besar.
Pasalnya, dasar formil pembahasan PAK tidak terpenuhi karena Laporan Pertanggungjawaban (LPP) APBD 2024 ditolak DPRD dan hanya ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada), bukan Peraturan Daerah (Perda).
Praktisi Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik, Abd. Basith, S.H., M.H., menegaskan bahwa posisi hukum tersebut tidak bisa disepelekan.
“Meski sah secara administratif, Perkada tidak dapat menggantikan Peraturan Daerah yang menjadi syarat formil pembahasan PAK sebagaimana diatur Pasal 179 ayat (3) PP 12/2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Artinya, tanpa Perda LPP APBD 2024, pembahasan PAK 2025 secara hukum tidak bisa dilaksanakan,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).
Praktisi Hukum dan Pemerhati Kebijakan Publik, Abd. Basith, S.H., M.H saat menyoroti pengesahan PAK APBD Sidoarjo 2025 (FOTO: Dok. Pribadi For TIMES Indonesia)
Dalam pandangannya, PAK yang dipaksakan justru berpotensi menjadi preseden buruk. Situasi ini seharusnya menjadi momentum bagi eksekutif dan legislatif Sidoarjo untuk memperbaiki tata kelola dan pelaksanaan anggaran.
“PAK APBD 2025 sejatinya merupakan instrumen untuk melanjutkan program pembangunan yang sudah direncanakan. Namun, ketika ia cacat secara formil maka langkah terakhir adalah tetap melaksanakan APBD murni 2025," kata Basith, yang juga Direktur SAKA Indonesia.
Basith menilai, sikap DPRD yang tetap optimistis menggelar paripurna tanpa kepastian hukum bisa dipandang sebagai bentuk kepercayaan diri berlebihan. Alih-alih memberi kepastian pembangunan, langkah ini justru berpotensi menghadirkan kegaduhan baru di ruang publik.
"Ibarat membangun rumah di atas fondasi retak. Tampak berdiri megah, namun mudah runtuh ketika diuji," tegasnya.
Ketegangan ini memperlihatkan masalah serius dalam tata kelola politik anggaran daerah. Fungsi kontrol DPRD yang mestinya menjadi mekanisme check-and-balance justru berbalik menjadi faktor penghambat siklus anggaran.
"Bukan soal tafsir hukum, PP 12/2019 sudah memberikan garis batas yang jelas, karena disisi lain dalam satu tahun anggaran berjalan DPRD wajib melaksanakan fungsi pengawasan yang dimiliki, jangan hanya ketika ada Raperda LPP APBD aja kemudian menolak," tutupnya. (*)
Pewarta | : Syaiful Bahri |
Editor | : Deasy Mayasari |
Bukan Kaleng-kaleng, Harga Mulai Rp325 Juta: AION UT Punya Garansi Seumur Hidup!
Mimpi Menjadi Negara Paripurna
Bali Dinyatakan Berstatus Darurat selama Sepekan
Antara Ijazah dan Lapangan Kerja yang Tak Nyata
Skandal Dana Diklat PKN Tingkat II: Pejabat Pemkot Banjar Terlibat Dugaan Penilepan Rp125 Juta
Uji Kelayakan Calon Hakim Agung, Anggota DPR Tanya Diana Malemita Ginting soal Pajak Karbon
Banjir Bali, Tim SAR Gabungan Evakuasi 142 Korban Selamat
Livoli Divisi Utama 2025, LavAni Kembali Menangkan Laga Kedua
PORDA XVII DIY Resmi Dibuka di Gunungkidul, Bupati Sleman Targetkan Juara Umum Empat Kali Beruntun
Dishub Jatim: Koridor VII Trans Jatim Siap Beroperasi Oktober 2025