TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dunia militer memang seringkali didominasi kaum laki-laki. Namun dalam sejarah peradaban, sejumlah perempuan membuktikan diri sebagai jenderal, komandan, sekaligus simbol perlawanan yang disegani lawan dan dicatat sejarah.
Kisah-kisah mereka menjadi inspirasi abadi bagi perempuan di seluruh dunia. Hal ini memberikan perspektif yang berbeda bahwa kekuatan dan ketangguhan adalah kualitas universal yang tidak terbatas pada satu gender saja.
Berikut beberapa kisah di antara mereka yang diakui sebagai jenderal perempuan terbaik sepanjang sejarah:
Nusaibah binti Ka’ab atau Ummu Umarah, adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal karena keberaniannya di medan perang, khususnya dalam Perang Uhud.
Awalnya, ia datang untuk memberi minum dan merawat pasukan, namun ketika pasukan Muslim sedang terdesak, Nusaibah segera mengangkat pedang dan perisai untuk melindungi Nabi dari serangan Quraisy.
Nabi Muhammad SAW memuji keberaniannya dengan mengatakan bahwa di setiap sisi yang beliau lihat, selalu ada Nusaibah bertempur membelanya.
Dalam pertempuran itu, ia mengalami lebih dari dua belas luka parah namun tetap bertahan. Selain di Uhud, Nusaibah juga ikut dalam Perjanjian Aqabah dan beberapa pertempuran lain, termasuk Perang Yamamah.
Nusaibah menjadi simbol keteguhan dan keberanian perempuan Muslim, membuktikan bahwa perempuan juga memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan Islam.
Joan of Arc, atau Jeanne d'Arc, adalah simbol nasional Perancis yang memimpin pasukan dalam Perang Seratus Tahun melawan Inggris.
Pada usia 17 tahun, Joan meyakinkan Raja Charles VII bahwa dirinya mendapat wahyu ilahi untuk membebaskan Perancis. Dalam pertempuran di Orléans pada tahun 1429, ia sukses memecah kebuntuan dan menjadi titik balik kemenangan Perancis.
Berdasarkan data The National Archives of France, Joan berhasil membangkitkan moral pasukan yang sempat surut. Meski akhirnya ditangkap dan dieksekusi pada 1431, Joan tetap dikenang.
Vatikan menetapkannya sebagai santa pada tahun 1920. Sejarawan Kelly DeVries dalam bukunya Joan of Arc: A Military Leader (1999) menegaskan bahwa Joan bukan sekadar simbol, tetapi komandan yang strategis dan memahami taktik militer.
Sekitar tahun 60 M, Boudica, ratu suku Iceni di Britania, memimpin pemberontakan besar melawan dominasi Kekaisaran Romawi.
Tacitus dalam Annals mencatat bahwa Boudica memimpin lebih dari 100.000 pasukan dari suku-suku Britania dan berhasil menghancurkan beberapa kota Romawi, termasuk Londinium (London kuno).
Meski akhirnya pasukan Boudica dikalahkan, perlawanan ini mengguncang dominasi Romawi dan tetap dikenang sebagai simbol kebangkitan perempuan dalam sejarah militer Britania.
Sejarawan Miranda Aldhouse-Green dalam Boudica Britannia (2016) menyebut Boudica sebagai salah satu komandan perempuan paling berani yang pernah dicatat sejarah Eropa.
Zheng Yi Sao, yang dikenal di Barat sebagai Ching Shih, adalah pemimpin armada bajak laut terbesar sepanjang sejarah. Beroperasi di Laut Tiongkok Selatan pada awal abad ke-19, ia memimpin lebih dari 70.000 bajak laut dan 1.800 kapal.
Data dari Pirates of the South China Coast, 1790-1810 karya Diane Murray menyebutkan bahwa Zheng Yi Sao menerapkan aturan ketat dalam armadanya, termasuk hukum bagi pencurian dan kekerasan terhadap perempuan.
Kekuatannya membuat Dinasti Qing kewalahan. Bahkan, aliansi antara kekaisaran Qing, Inggris, dan Belanda pun gagal menghentikannya.
Ia pensiun dengan damai setelah bernegosiasi dan diberikan pengampunan penuh, sebuah prestasi langka bagi bajak laut.
Di era modern, sejarah mencatat Jenderal Ann E. Dunwoody sebagai perempuan pertama di Amerika Serikat yang meraih pangkat jenderal bintang empat. Pengangkatan Dunwoody pada tahun 2008 menjadi titik penting dalam sejarah militer AS.
Data resmi dari US Army menyatakan bahwa Dunwoody memimpin Komando Material Angkatan Darat AS, mengelola logistik militer bernilai miliaran dolar.
Dalam biografinya A Higher Standard (2015), Dunwoody menegaskan bahwa kepemimpinan militer bukan soal gender, melainkan soal kompetensi dan dedikasi.
Meski bukan jenderal militer, Raden Ajeng Kartini masuk dalam daftar ini sebagi penghormatan atas jasa dan dedikasinya dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan di Indonesia.
Dalam surat-suratnya yang dihimpun dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menegaskan pentingnya pendidikan bagi perempuan agar setara dalam berpikir dan bertindak.
Menurut Profesor Saskia Wieringa dalam Sexual Politics in Indonesia (2002), pemikiran Kartini memberi pengaruh besar bagi pergerakan perempuan Indonesia, yang kelak melahirkan sosok-sosok perempuan pejuang kemerdekaan yang terlibat langsung di medan tempur seperti Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati.
Para jenderal perempuan yang tercatat dalam sejarah telah membuktikan bahwa keberanian dan kecerdasan strategi tidak dimonopoli oleh laki-laki.
Mereka tidak hanya menjadi simbol ketangguhan, tetapi juga bukti nyata bahwa kepemimpinan, baik di medan perang maupun dalam perjuangan sosial, adalah hak sekaligus kemampuan yang bisa dimiliki siapa pun.
Di tengah dinamika dunia modern yang semakin membuka ruang bagi perempuan, sejarah mereka menjadi pijakan sekaligus inspirasi untuk terus melampaui batasan, membangun dunia yang lebih setara, adil, dan berdaya. (*)
Pewarta | : Mutakim |
Editor | : Ronny Wicaksono |
'A Slice of Europe In Uluwatu’: Bartolo Curi Perhatian Media Asia Pasifik di Dunia Kuliner Bali
Yangwang U7 Tandai Capaian BYD Produksi 13 Juta Unit Mobil Listrik
Marcus Rashford Lolos Tes Medis di Barcelona, Siap Gabung Sebagai Pemain Pinjaman
Dua Arah Jalan Perdagangan
Imbang Lawan Malaysia, Timnas U-23 Lolos ke Semifinal ASEAN U-23 Championship 2025
Pemerintah Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi 5% di Akhir 2025, Didorong Kesepakatan Tarif AS-Indonesia
Bupati Sleman Apresiasi Program KDMP, Komitmen Kawal Implementasi di Desa
Babak Kualifikasi Porprov Jabar Tak Dianggarkan Pemkot, KONI: Kota Banjar Ripuh
Pastikan Koperasi Merah Putih Segera Beroperasi, Bupati Madiun: Kades Tanggung Jawab Pengawasan
Kawasan Pertanian di 5 Desa di Kabupaten Malang Sukses Manfaatkan Program UPLAND