TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di pesisir Tanjung Langka, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, berdiri tujuh lubang berdiameter lebih dari satu meter. Wujudnya sederhana-lingkaran batu berlumut yang seolah menyatu dengan pasir dan ombak. Namun bagi masyarakat setempat, lubang-lubang itu bukan sekadar sumur tua, melainkan Sumur Tujuh Bangka, saksi bisu pendudukan Jepang pada masa Perang Dunia II.
Sumur Tujuh dibangun sekitar tahun 1943, ketika tentara Dai Nippon mulai memperkuat logistik di Pulau Bangka. Selain menguasai tambang timah, Jepang juga menaruh perhatian besar pada produksi pangan. Garam, meski tampak remeh, menjadi kebutuhan vital untuk mengawetkan makanan pasukan.
“Jepang tidak bisa lagi bergantung pada suplai luar negeri. Produksi lokal jadi kunci, dan Sumur Tujuh salah satunya,” jelas Akhmad Elvian, sejarawan Bangka Belitung.
Air laut dipompa atau dialirkan melalui pipa besar ke dalam sumur, kemudian dibiarkan menguap di bawah terik matahari. Kristal garam yang tersisa dikumpulkan dalam wadah bambu sebelum dikirim ke gudang logistik Jepang. Setiap butir garam kala itu bukan hanya bahan dapur, melainkan bagian dari mesin perang global.
Meski menjadi bagian penting sejarah lokal, catatan resmi tentang Sumur Tujuh sangat terbatas. Banyak arsip Jepang yang hilang atau dimusnahkan, sementara laporan Belanda jarang menyinggung fasilitas kecil seperti ini. Akibatnya, kisah Sumur Tujuh lebih banyak bertahan lewat ingatan lisan masyarakat Bangka Tengah.
“Kalau tidak dijaga, situs ini bisa hilang ditelan ombak,” tutur Syahrial, tokoh masyarakat Bangka Tengah. Ia menegaskan, Sumur Tujuh bukan peninggalan Belanda, melainkan murni proyek Jepang pada masa perang.
Dinding sumur memang mulai rapuh, dan ancaman abrasi pantai semakin nyata. Bagi warga, kehilangan situs ini berarti kehilangan sepotong sejarah yang merekam getirnya pendudukan asing.
Setelah perang usai, Sumur Tujuh sempat terbengkalai selama puluhan tahun. Baru dalam satu dekade terakhir pemerintah daerah memberi perhatian dengan menjadikannya destinasi wisata sejarah Bangka Tengah.
Kini kawasan tersebut dilengkapi gazebo, mushola, toilet, serta lapak kuliner. Lokasinya hanya lima kilometer dari pusat Kota Koba, mudah dijangkau wisatawan. Pada akhir pekan, pantai sekitar sumur ramai dikunjungi. Anak-anak bermain pasir, sementara pengunjung dewasa mencoba menelusuri jejak masa lalu dari tujuh lubang tua itu.
“Sumur Tujuh bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga sarana edukasi. Kami berharap anak-anak muda mengenal sejarah daerahnya,” kata Zainal, mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bangka Tengah.
Menurut Zainal, tantangan terbesar adalah promosi. Banyak wisatawan masih mengasosiasikan Bangka hanya dengan wisata bahari dan kuliner. Padahal, situs sejarah seperti Sumur Tujuh bisa memperkaya pengalaman berwisata sekaligus memperkuat identitas daerah.
Meski sudah masuk paket wisata Koba, pelestarian Sumur Tujuh belum optimal. Penelitian akademik mendalam pun masih minim. Kondisi ini menjadi peluang bagi sejarawan maupun komunitas lokal untuk menggali narasi yang lebih lengkap.
Bagi masyarakat, Sumur Tujuh adalah “bisikan masa lalu” yang terus bergema di antara debur ombak. Ia mengingatkan bahwa sejarah tidak selalu lahir dari istana megah atau medan tempur besar, melainkan juga dari tempat sederhana yang menyimpan keringat dan harapan.
“Setiap tetes garam yang dihasilkan kala itu seakan menyimpan kisah getir, tentang bagaimana sebuah pulau kecil ikut terjerat dalam pusaran perang dunia,” ujar Syahrial.
Lebih dari sekadar objek wisata, Sumur Tujuh adalah bagian dari identitas sejarah Bangka. Keberadaannya menunjukkan bahwa Indonesia dibentuk dari mozaik pengalaman lokal yang tersebar di berbagai pelosok. Garam di Bangka, tambang di Papua, perkebunan di Jawa, hingga pelabuhan di Sulawesi—semuanya menyatu dalam satu narasi besar kebangsaan.
Merawat Sumur Tujuh berarti menjaga bukti otentik tentang masa lalu. Tugas ini bukan hanya milik pemerintah, tetapi juga masyarakat yang mewarisi tanah dan kisahnya. Jika setiap orang merasa memiliki, pelestarian akan berjalan alami: masyarakat menjaga, peneliti menelusuri, wisatawan menghargai, dan negara menguatkan.
“Jika sumur-sumur ini hilang ditelan ombak, maka hilang pula satu lembar penting dari kitab sejarah Bangka. Menjaganya berarti menjaga ingatan, dan dari ingatan itu tumbuh cinta pada tanah kelahiran,” kata Syahrial menegaskan.
Sumur Tujuh hari ini berdiri di persimpangan: antara rapuhnya situs tua dan peluang menjadi destinasi wisata sejarah unggulan. Dengan pengelolaan yang tepat, ia bisa menjadi magnet edukasi dan kebanggaan lokal, sekaligus pengingat bahwa bangsa ini besar karena tidak melupakan yang kecil.
Pesannya jelas: jangan biarkan ombak waktu menghapus jejak sejarah. Sebab, bangsa yang merawat sejarahnya adalah bangsa yang mampu melangkah lebih pasti menuju masa depan. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Ketika Tabungan Negara Menjadi Cermin Ketidakberesan
Fakultas Pertanian UTM Berdayakan Kader PKK Desa Sabiyan untuk Tingkatkan Gizi Keluarga
Transformasi Menuju Klub Sepakbola Moderen, Persewangi Banyuwangi Kontrak Agensi
Eddy Soeparno Ajak Pemkot Balikpapan Perkuat Kolaborasi Atasi Darurat Sampah
Delapan Mahasiswa Polinema Malang Sabet Berbagai Gelar Juara IPEC 2 di Manado
Livoli Divisi Utama 2025, TNI AU Electric Hempaskan Bandung Tectona
WCD 2025 Kota Probolinggo: Serempak Pungut Sampah, Serentak Bantu Ekonomi Warga
Potret Ketimpangan Akses Air Bersih di Pelosok Indonesia
SPPG Al-Irsyadiyyah KH Zenzen di Majalengka Tegaskan Legalitas, Bantah Isu Ilegal
World Clean Up Day, Gubernur Khofifah Pimpin Aksi Bersih Sungai di Probolinggo