TIMESINDONESIA, JAKARTA – Nama Marsinah kembali disebut hari ini, bersama dengan tokoh-tokoh lain yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 2025. Ia dikenang sebagai sosok perempuan yang pemberani yang dimatikan oleh keadaan bertahun-tahun silam.
Jauh sebelum negara menulis namanya di daftar pahlawan, Marsinah sudah lebih dulu hidup dalam ingatan rakyat dan dunia sastra. Ia hidup pada naskah drama, puisi, lagu, mural, dan film dokumenter yang menolak lupa pada tubuuh perempuan yang disiksa karena berani bersuara lantang.
Tubuh Marsinah menjadi teks: luka-lukanya adalah kalimat, dan keberaniannya adalah paragraf yang tak selesai dibaca. Melalui sastra, Marsinah hidup lebih lama daripada berita yang mengabarkannya.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marsinah menempati posisi yang juga istimewa di antara tokoh-tokoh perlawanan seperti Wiji Thukul, Munir, Salim Kancil, dan tokoh-tokoh akar rumput yang pemberani lainnya.
Ia bukan selebritas, bukan pemimpin politik, pokoknya bukan tokoh publik besar; ia seorang buruh perempuan di pabrik jam tangan. Tapi justru dari situ sosoknya menjelma menjadi maknanya terasa kuat.
Marsinah menghadirkan wajah kepahlawanan yang lahir dari tangan yang bekerja dan suara yang jujur, bukan dari gemerlap panggung kekuasaan. Sastra kemudian menangkap sosok itu sebagai salah satu narasi keberanian manusia.
Dalam karya yang menulis tentangnya, Marsinah sering hadir lewat simbol-simbol yang kuat; darah, tubuh, pabrik, dan malam. Darah menjadi tanda pengorbanan; tubuh menjadi teks tempat kekerasan negara tertulis; pabrik menjadi ruang penindasan kelas; dan malam menjadi saksi bagi suara yang tak sempat membela diri.
Melalui simbol-simbol semacam ini, sastra menulis ulang sejarah dari sisi korban. Ia tidak menghakimi, tapi mengingat dan dengan mengingat, ia menolak diam.
Beberapa karya yang paling dikenal dengan mengangkat tema ini adalah puisi “Dongeng tentang Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono. Dengan bahasa yang tenang dan jernih, Sapardi menghadirkan Marsinah sebagai tokoh biasa yang dikenal oleh seluruh alam.
Seluruh dunia dan akhirat mengenalnya dengan sangat baik, siapa dia, apa yang telah dialaminya. Puisi itu mengantarkan sosok Marsinah sejak awal hingga ke surga. Begitu juga teater Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah karya Ratna Sarumpaet, yang membawa kisahnya ke panggung dan memberi tubuh baru pada suara yang pernah dibungkam.
Dalam puisi Linda Christanty dan lagu “Marsinah” dari band Marjinal, narasi itu terus hidup: ia menjelma menjadi nyanyian jalanan, menjadi doa, menjadi ingatan yang tak mau mati.
Semua karya ini menunjukkan satu benang merah: sastra bukan hanya mencatat, tapi menjaga. Sastra sering mengambil peran untuk menyuarakan apa yang gagal negara suarakan.
Dari sudut pandang sastra, cerita tentang marsinah hadir bukan sebagai kisah yang ingin dinikmati, melainkan sebagai jejak yang terus disuarakan dalam berbagai bentuk. Dari puisi dan teater hingga lagu, mural, dan film dokumenter.
Setiap karya yang menyinggung namanya saling bergaung, membentuk jalinan makna yang tak henti mengingatkan kita pada keberanian dan luka yang ditinggalkannya.
Di dalamnya tersimpan pula lapisan memori yang kultural, setiap pengisahan tentang Marsinah bukan sekadar upaya mengenang, melainkan cara menguji sejauh mana masyarakat mau mengingat dengan jujur.
Marsinah, dalam teks dan ingatan, selalu menghadirkan pertanyaan yang belum selesai, tentang kuasa, tentang keadilan, dan tetang siapa yang masih memilih diam.
Di titik inilah sastra berlaku sesuai salah satu perannya, menjaga ingatan dan nurani. Marsinah hidup kembali sebagai suara yang tak sempat ia ucapkan sendiri. Melalui bahasa imajinasi, luka yang dulu dibungkam diubah menjadi api kecil yang menolak padam di tengah gelapnya ketiidakadilan.
Marsinah dalam karya sastra bukan hanya sekadar nama, ia menjelma menjadi lambang keberanian perempuan, simbol perlawanan rakyat kecil yang menuntut hak hidupnya dengan harga yang paling mahal.
Lantas, apa makna ketika negara akhirnya menobatkan Marsinah sebagai Pahlawan nasional? Secara simbolik, ini merupakan langkah penting: pengakuan sebuah perjuangan perempuan yang juga bagian dari sejarah Indonesia.
Di balik penghormatan itu, kita tidak perlu buru-buru menganggap semuanya telah tuntas. Nama Marsinah memang dijunjung tinggi, tapi kebenaran tentang kematiannya masih tertinggal di balik semak-semak sejarah yang juga tertutup kabut.
Maka ketika hari ini negara menyebutnya sebagai pahlawan, kita boleh berterima kasih. Pengakuan itu bukan penutup, melainkan pengingat, sebab sejarah tak hanya diukur dari gelar yang diberikan, melainkan sejauh mana kita berani terus mengingat.
***
*) Oleh : Jiphie Gilia Indriyani, Dosen, Penyuka Kopi, Musik, dan Film.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Editor | : Hainorrahman |
Lari di Landasan Pacu Pesawat Tempur, Abdulrachman Saleh Air Force Run 2025 Buka Pendaftaran
Polisi Tegaskan Terduga Pelaku Ledakan di SMAN 72 Jakarta Bukan Anti Agama Tertentu
Guru Besar Al-Azhar Mesir Pimpin Ijazahan Kubro di Ponpes Ainul Ulum Ponorogo
Arab Saudi Gelar Forum Sejarah Haji dan Dua Masjid Suci di Jeddah
KPK Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh, Diduga Ada Tanah Negara Dijual ke Negara
Cegah Penyelewengan Pemerintah Kalurahan, DPRD Gunungkidul Tekankan Peran Pengawasan Bamuskal
Dapur MBG Puri Gading Dadapan Banyuwangi Perbaiki Pengelolaan Sampah Usai Dikeluhkan Warga
KH Iskandar Sulaiman, Pejuang dan Imam Tentara dari Kota Batu
Sultan Tidore Ke-37 Zainal Abidin Syah Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional
DPRD Gresik Ajak Pelaku Usaha Perikanan Manfaatkan Teknologi Digital