TIMESINDONESIA, JAKARTA – Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan bagaimana riset di Indonesia berupaya tumbuh di tengah berbagai keterbatasan: dari terbatasnya pendanaan, minimnya jejaring global, hingga perlunya penguatan antar institusi.
Namun, dunia berubah. Sains dan inovasi tidak lagi berkembang dalam ruang-ruang tertutup. Ia tumbuh dalam sistem terbuka, lintas batas negara, disiplin, dan sektor.
Dalam ekosistem pengetahuan global saat ini, kolaborasi menjadi kata kunci. Pertanyaannya: sudahkah riset Indonesia cukup siap untuk terhubung dan bersaing dalam jejaring pengetahuan dunia?
Indonesia bukan tanpa potensi. Kita memiliki populasi peneliti muda yang semakin terdidik secara internasional, infrastruktur digital yang makin luas, serta kebutuhan nasional yang sangat mendesak akan solusi berbasis pengetahuan dari perubahan iklim, ketahanan pangan, hingga teknologi kesehatan. Namun, potensi ini belum sepenuhnya terkonversi menjadi kekuatan sistemik.
Untuk itu, ekosistem riset Indonesia harus terus diperkuat, bukan sekadar untuk mengejar publikasi atau peringkat, tetapi untuk membentuk simpul pengetahuan yang relevan secara lokal dan terkoneksi secara global.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membangun skema kemitraan riset transnasional yang bersifat strategis dan berkelanjutan. Kita selama ini lebih banyak terlibat dalam kolaborasi riset yang bersifat jangka pendek dan proyek-sentris, seringkali ditentukan oleh agenda mitra dari negara lain.
Padahal, agar setara di meja global, Indonesia perlu mengajukan agenda risetnya sendiri berbasis pada kebutuhan domestik yang mendesak dan keunggulan sumber daya yang dimiliki.
Bayangkan jika kita memimpin kemitraan riset tentang perubahan iklim di wilayah tropis, teknologi perikanan berkelanjutan, atau pemanfaatan biodiversitas hutan hujan sebagai sumber obat.
Untuk itu, perlu kebijakan afirmatif dari negara: pendanaan bersama, perlindungan kekayaan intelektual, dan platform diplomasi sains yang aktif melalui kedutaan besar, perguruan tinggi, dan organisasi riset. Indonesia harus tampil sebagai inisiator, bukan sekadar peserta.
Kedua, konektivitas riset tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan aktif sektor industri, terutama dalam hal translasi hasil riset ke pasar global. Di banyak negara, universitas dan industri menjadi mitra setara dalam menghasilkan inovasi.
Di Indonesia, hubungan itu masih perlu diperkuat. Terlalu banyak riset berhenti di laporan atau prototipe, tidak sampai ke tahap komersialisasi. Padahal, koneksi dengan industri internasional bisa menjadi jembatan akselerasi penting.
Indonesia bisa belajar dari model-model kemitraan inovasi terbuka (open innovation) yang diterapkan di negara seperti Korea Selatan atau Eropa, di mana perusahaan multinasional bekerja sama dengan universitas lokal dalam skema berbasis tantangan (challenge-based research).
Untuk mendukung ini, kita perlu membangun insentif fiskal dan regulasi yang memungkinkan kolaborasi sektor swasta dengan kampus termasuk pembebasan pajak untuk investasi litbang, perlindungan hukum atas hasil kolaborasi, serta inkubasi bersama produk inovatif untuk pasar luar negeri. Jika berhasil, tidak hanya teknologi yang mengalir ke Indonesia, tetapi juga pengetahuan dan kemitraan jangka panjang.
Ketiga, membangun budaya riset yang terbuka dan kolaboratif sejak dari ruang kelas. Kita masih kerap memandang riset sebagai aktivitas individu terisolasi di balik jurnal dan laboratorium. Padahal, riset di era ini menuntut kerja tim, keterampilan komunikasi lintas budaya, dan etos saling berbagi pengetahuan.
Kurikulum perguruan tinggi kita perlu mengintegrasikan pengalaman kolaboratif global sejak dini, misalnya melalui program pertukaran riset mahasiswa, proyek kolaboratif daring antar kampus, atau publikasi bersama dengan institusi internasional.
Penguasaan bahasa Inggris dan literasi data bukan lagi nilai tambah, tetapi syarat dasar. Selain itu, institusi riset Indonesia perlu membuka diri untuk peneliti diaspora dan peneliti asing yang ingin berkontribusi.
Iklim keterbukaan inilah yang akan menjadikan Indonesia sebagai destinasi riset, bukan hanya lapangan uji coba. Dan di sinilah peran negara sangat penting: menciptakan lingkungan yang aman, fleksibel, dan mendukung mobilitas pengetahuan secara adil dan berkelanjutan.
Jika ketiga prasyarat itu terpenuhi kemitraan strategis, integrasi dengan industri, dan budaya riset yang terbuka, maka kita tidak lagi hanya mengejar kolaborasi, tapi membangun simpul pengetahuan global yang menjadi rujukan.
Indonesia bukan sekadar pasar teknologi, tetapi penghasil inovasi yang diakui. Ekosistem riset kita menjadi bagian dari sistem inovasi global, yang tidak hanya menjawab tantangan lokal, tetapi juga berkontribusi bagi dunia.
Perlu disadari, membangun ekosistem semacam ini bukan pekerjaan satu kementerian atau satu masa jabatan. Ia menuntut komitmen jangka panjang, dukungan lintas sektor, serta perubahan cara pandang terhadap riset itu sendiri dari beban anggaran menjadi investasi strategis.
Di sinilah kita perlu merumuskan ulang arah kebijakan riset nasional, dengan keberpihakan jelas terhadap riset yang bersifat kolaboratif, terbuka, dan berdampak nyata. Riset harus menjadi denyut kehidupan bangsa berkelindan dengan pendidikan, pembangunan, dan daya saing.
Momentum transformasi ini sebenarnya telah terbuka. Berbagai skema pendanaan kompetitif, jejaring ASEAN dan G20, serta digitalisasi pendidikan tinggi memberi ruang baru bagi konektivitas. Agenda Konvensi Sains, Teknologi dan Industri (KSTI) yang digelar Kemendiktisaintek beberapa waktu lalu menjadi pemicu penting untuk memperkuat kolaborasi dan mengokohkan ekosistem riset kita. Agar riset peneliti Indonesia terkoneksi dengan industri, inovator dan jaringan internasional.
Di abad pengetahuan ini, negara yang unggul bukan yang paling besar atau paling kaya, melainkan yang paling cepat belajar dan paling mampu berjejaring. Jika Indonesia ingin duduk sejajar dalam komunitas global, maka kita perlu terus perkuat ekosistem nasional agar terkoneksi dengan global.(*)
***
*) Oleh : Munawir Aziz, Peneliti Kebijakan Publik, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Riset dan Studi di Amerika Serikat.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Hujan Deras Guyur Pacitan, BMKG Ingatkan Potensi Banjir dan Longsor
Klarifikasi Kemenkeu: Video Sri Mulyani Sebut Guru Beban Negara adalah Hoaks dan Deepfake
Wali Kota Malang Serahkan Pohon Penghijauan di 1 Dekade TIMES Indonesia
Liverpool Raup Untung Besar, Kantongi £200 Juta dari Jual Pemain di Bursa Transfer
80 Tahun Merdeka: Kepemimpinan Menjawab Ketertinggalan
Dekan Fakultas Pertanian UB Dukung Gerakan Penghijauan 1 Dekade TIMES Indonesia
HUT ke-80 RI: PPI Pakistan Ajak Warga Islamabad Mengikuti Lomba Agustusan
Kerangka Manusia Gegerkan Warga Polehan Malang, Diduga Pria Hilang Sejak April
Dari Jalanan ke Parlemen: Dampak Ricuh Demo Bupati Pati Terhadap Hak Angket DPRD
Kejari Gercep, Dugaan Korupsi Jaspro dan Tantiem PDAM Kota Madiun Segera Diselidiki