TIMESINDONESIA, BOJONEGORO – Fenomena tumpukan sampah di jalanan sering kali kita anggap sekadar masalah teknis tata kota. Namun, sejatinya ia lebih dari sekadar urusan kebersihan.
Sampah adalah cermin dari cara kita memandang bumi, sekaligus potret keretakan relasi manusia dengan alam. Inilah ruang di mana ekoteologi menemukan relevansinya: refleksi teologis tentang tanggung jawab spiritual manusia terhadap ciptaan Tuhan.
Dalam tradisi agama, bumi bukanlah milik mutlak manusia, melainkan titipan. Al-Qur’an menegaskan peran manusia sebagai khalifah fil-ardh pemimpin di bumi yang memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian alam.
Maka, setiap krisis lingkungan bukan hanya kegagalan teknis, tetapi juga krisis spiritual. Sampah yang menggunung adalah bukti betapa rapuhnya kesadaran kita sebagai makhluk yang diberi amanah.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2022) mencatat Indonesia menghasilkan 68,5 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah tersebut, 18,5% belum terkelola dan 32% sampah plastik berakhir di laut, merusak biota serta rantai ekosistem.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm keras yang menegaskan bahwa gaya hidup instan dan abai telah menjadikan bumi sebagai korban. Plastik kopi saset yang dibuang sembarangan, puntung rokok di selokan, hingga pembakaran sampah di halaman belakang rumah adalah potret dosa ekologis yang kita normalisasi setiap hari.
Ekoteologi memberi kita kacamata berbeda untuk memahami krisis ini. Sampah bukan sekadar kotoran yang bau, melainkan refleksi etis atas cara kita memperlakukan bumi.
Bila kita percaya bahwa alam adalah ciptaan Tuhan, maka merusaknya sama saja dengan mencederai karya agung Sang Pencipta. Kesadaran ini mengubah aktivitas sederhana seperti memilah sampah menjadi bagian dari ibadah ekologis.
Gerakan reduce, reuse, recycle (3R) misalnya, tidak hanya berhenti pada jargon teknis, tetapi bisa dipandang sebagai praktik spiritual untuk mengurangi jejak dosa ekologis.
Bank sampah yang tumbuh di desa-desa bukan hanya model ekonomi sirkular, melainkan juga latihan kolektif untuk hidup tertib, hemat, dan peduli. Kompos yang lahir dari sisa dapur pun bisa dibaca sebagai wujud syukur: bahkan yang dianggap “tak berguna” masih punya nilai untuk menyuburkan tanah.
Literatur ekoteologi juga menegaskan hal ini. Sallie McFague dalam A New Climate for Theology (2008) menggambarkan bumi sebagai tubuh Tuhan (the world as God’s body).
Perspektif ini mengikat secara emosional: ketika kita mencemari sungai atau membuang plastik ke laut, sejatinya kita sedang menyakiti tubuh Ilahi. Pandangan ini menuntut kesadaran baru bahwa setiap tindakan kecil dalam keseharian berhubungan langsung dengan spiritualitas kita.
Untuk menjadikan ekoteologi nyata, pendidikan berbasis iman dan budaya lokal perlu diperkuat. Bayangkan jika khutbah Jumat, pengajian, atau sekolah minggu tidak hanya membicarakan ibadah ritual, tetapi juga ibadah ekologis: menjaga sungai, menanam pohon, memilah sampah.
Dalam tradisi Jawa ada falsafah memayu hayuning bawana merawat harmoni alam semesta. Nilai ini dapat menjadi jembatan antara kearifan lokal dengan kesadaran ekologis global.
Selain itu, praktik pengelolaan sampah berbasis komunitas terbukti efektif. Surabaya dengan kebijakan menukar sampah plastik menjadi tiket bus Suroboyo, atau gerakan sedekah sampah di beberapa desa yang hasilnya dipakai untuk kegiatan sosial.
Hal ini memperlihatkan bukti nyata bahwa pengelolaan sampah bisa dipadukan dengan nilai religius dan solidaritas sosial. Langkah-langkah kecil itu membentuk kultur baru yang menegaskan bahwa merawat lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Keluarga pun memegang peran vital. Anak-anak belajar bukan dari teori, tetapi dari teladan. Ketika orang tua santai membuang bungkus permen di jalan, maka kebiasaan itu akan diwariskan. Pendidikan lingkungan pertama justru lahir di rumah, dari perilaku sederhana yang konsisten.
Sering kali gerakan lingkungan gagal karena hanya dipahami sebagai proyek teknis. Padahal, tanpa dasar spiritual dan moral, program cenderung mandek dan kehilangan ruh.
Ekoteologi memberi fondasi moral bahwa menjaga bumi bukan sekadar tugas administratif, melainkan bagian dari iman. Bila masyarakat percaya bahwa membuang sampah sembarangan adalah dosa, maka kesadaran ekologis akan tumbuh lebih kuat daripada sekadar takut ditegur aparat.
Membicarakan sampah sejatinya adalah membicarakan cara kita menempatkan diri di dunia. Apakah bumi sekadar tempat buangan, atau rumah bersama yang harus dirawat dengan cinta?
Ekoteologi mengajak kita untuk menggeser perspektif. Sampah bukan lagi urusan teknis Dinas Kebersihan, melainkan cermin dari kualitas etika dan iman manusia.
Indonesia memang tidak akan mampu menghentikan produksi puluhan juta ton sampah dalam sekejap. Namun langkah kecil tetap berarti. Membawa botol minum sendiri, memilah sampah di rumah, hingga mengingatkan tetangga yang membuang sampah ke sungai, semua itu adalah wujud nyata ekoteologi. Tindakan sederhana berubah menjadi ibadah ketika didasari kesadaran spiritual untuk menjaga bumi sebagai titipan.
Tumpukan sampah bukan hanya masalah bau yang mengganggu hidung, melainkan teguran keras dari bumi sekaligus ujian spiritual bagi manusia. Setiap botol plastik yang dibuang sembarangan, setiap kali selokan penuh oleh puntung rokok, adalah pengingat bahwa tanggung jawab kita belum tertunaikan. Ekoteologi mengajak kita tidak sekadar menutup hidung, tetapi membuka hati.
***
*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Di KTT PBB, Presiden Prabowo Subianto akan Bahas Solusi Dua Negara untuk Palestina
Livoli Divisi Utama 2025, Kalahkan TNI AU Electric, Gresik Petrokimia Juara Putaran Reguler Kedua
Mahkota Jiwanta Tinggal Selangkah Lagi, Ini Top 3 Finalis Miss Universe Indonesia 2025
Presiden Prabowo Dijadwalkan Hadiri KTT Two State Solution di PBB
3.683 Warga Kota Probolinggo Terhempas dari BPJS, Pemkot Siapkan BPID
Stok Pupuk Subsidi di Tasikmalaya Aman, Petani Diminta Manfaatkan Musim Hujan Lebih Cepat
Menjawab Polemik MBG, Dandim Blora: TNI Hanya Bertugas Monitoring, Bukan Penyedia Menu
Ketika Janji Merdeka Belajar Tak Sampai ke Daerah, 310 Guru PPG Prajab Blora Tunggu Kepastian
200 Konglomerat Nunggak Pajak Dibidik Menkeu Purbaya: Potensi Rp60 Triliun Siap Ditagih
Ribuan Maba Unisma Malang Jalani Oshika 2025 dengan Aksi Nyata Peduli Lingkungan