TIMESINDONESIA, RIAU – Kota bukan sekadar tumpukan gedung, jalan beraspal, atau deretan lampu jalan yang menyala setiap malam. Kota adalah organisme hidup yang memiliki roh, jiwa, dan arah yang menuntun perkembangan masyarakat di dalamnya.
Di sinilah gagasan kota tematik menemukan relevansinya: membangun kota dengan tema tertentu yang berpijak pada karakter alam, sejarah, budaya, tradisi, hingga visi kolektif warganya.
Kota tematik sejatinya bukan sekadar label manis di brosur promosi atau jargon pembangunan yang bergema di ruang sidang DPRD. Ia adalah roh yang menjiwai kota sekaligus pedoman dalam menata ruang dan menghadapi derasnya arus globalisasi. Tanpa roh itu, pembangunan kota hanya akan menjadi bangunan fisik yang hampa makna, sekadar menumpuk beton tanpa arah yang jelas.
Zaman ini adalah zaman ketidakpastian. Kota-kota di Indonesia, dari ujung Sumatera hingga Papua, dipaksa beradaptasi dengan perubahan global yang serba cepat.
Persaingan antar kota di dunia kini bergeser: dari kompetisi (city competition) menuju kolaborasi (city collaboration). Lahir konsep twin city atau kota kembar, serta jaringan creative global city yang menghubungkan kota-kota dari berbagai belahan dunia.
Jika kota-kota di Indonesia tidak segera merespon, maka ketertinggalan hanya soal waktu. Karena itu, penetapan tema pembangunan kota menjadi langkah strategis agar kota tetap relevan, berdaya saing, sekaligus mampu menjaga identitas lokalnya.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya pembangunan kota yang memperhatikan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, budaya, hingga lingkungan hidup.
Bahkan, pasal 29 ayat 2 menekankan kota hijau dengan minimal 30% ruang terbuka hijau. Ini sesungguhnya adalah pijakan hukum bagi lahirnya kota tematik yang sehat, berkelanjutan, dan berpihak pada kualitas hidup warganya.
Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya. Tema kota hanya menjadi hiasan pidato atau proyek pencitraan. Papan nama dan mural bergaya tematik dipasang di sudut kota, tapi sampah menumpuk, kemacetan kian parah, dan sungai makin tercemar.
Tema kota semestinya bukan kosmetik pembangunan, melainkan arah kebijakan yang menjiwai setiap program dari transportasi, pendidikan, kesehatan, hingga penataan ruang.
Kota tematik yang ideal adalah kota yang mampu mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu: ekonomi, sosial, politik, lingkungan, kesehatan, dan teknologi. Kota industri misalnya, tidak boleh semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga wajib menjaga keseimbangan sosial, kesehatan publik, dan kelestarian lingkungan. Kota wisata tidak cukup hanya membangun destinasi, melainkan juga menghidupkan tradisi, memperkuat budaya, dan menjaga ekologi.
Bentuk kota tematik bisa beragam: kota tepi sungai, kota pegunungan, kota sejarah, kota pendidikan, atau kota pertanian. Semua itu harus berpijak pada akar sejarah dan potensi riil yang dimiliki, bukan pada keinginan sesaat kepala daerah yang sedang berkuasa.
Kota hari ini tidak hanya ditantang oleh globalisasi, tapi juga oleh perubahan iklim. Banjir kota, polusi udara, gempa bumi, hingga tsunami adalah realitas yang tidak bisa diabaikan. Maka, tema kota haruslah mampu menjawab tantangan ekologis.
Kota tematik harus memberi ruang bagi kelestarian lingkungan, menciptakan kenyamanan hidup, sekaligus membangun resiliensi masyarakat menghadapi bencana.
Tanpa itu semua, kota hanya akan menjadi raksasa rapuh: megah dari luar, tetapi rentan ambruk saat diterpa krisis sosial, ekonomi, maupun lingkungan.
Perumusan tema kota tidak boleh berhenti pada tren, popularitas, atau pencitraan politik. Ia harus lahir dari partisipasi nyata para pemangku kepentingan: pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas budaya, hingga masyarakat akar rumput. Dengan demikian, tema kota akan mengakar, hidup, dan menjiwai keseharian warganya.
Kota tematik yang baik adalah kota yang menghadirkan quality of life: kehidupan yang layak, seimbang, dan manusiawi. Ia bukan hanya tempat orang mencari nafkah, tetapi juga tempat orang menemukan makna hidup, merayakan tradisi, dan menjaga harmoni dengan alam.
Di tengah derasnya arus modernitas, kota tematik adalah jalan untuk memastikan pembangunan tidak kehilangan arah. Namun, semua itu akan sia-sia jika tema kota hanya berhenti sebagai slogan. Kota harus benar-benar hidup sesuai rohnya.
Oleh karena itu, saat pemerintah kota berbicara tentang “kota wisata,” “kota industri,” atau “kota hijau,” pertanyaannya bukan seberapa indah slogannya, melainkan seberapa dalam ia menjiwai kehidupan masyarakat. Jangan sampai kota tematik hanya menjadi omong kosong pembangunan atau meminjam istilah Jakarta, sekadar omong doang.
***
*) Oleh : Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau Pekanbaru.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Menjawab Polemik MBG, Dandim Blora: TNI Hanya Bertugas Monitoring, Bukan Penyedia Menu
Ketika Janji Merdeka Belajar Tak Sampai ke Daerah, 310 Guru PPG Prajab Blora Tunggu Kepastian
200 Konglomerat Nunggak Pajak Dibidik Menkeu Purbaya: Potensi Rp60 Triliun Siap Ditagih
Ribuan Maba Unisma Malang Jalani Oshika 2025 dengan Aksi Nyata Peduli Lingkungan
Pilkades Digital Pertama di Jabar, Uji Nyali Demokrasi Desa
Waspada TPPO! Wali Kota Banjar Imbau Calon Pekerja Migran Indonesia Koordinasi ke Disnaker
5 Calon Bos Baru LPS Jalani Uji Kepatutan di DPR Malam Ini
16.000 Siswa Jenjang SD-SMA Terima Manfaat Sekolah Rakyat Tahun 2025
LPS Turunkan Level Bunga Simpanan, Rupiah Hanya Dijamin 3,5 Persen
65 Tahun Janji Reforma Agraria, Saat Petani Kembali ke Jalan