TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – style="text-align:justify">Rencana pembangunan fasilitas Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuai dilema besar.
Program ini berpotensi berbenturan dengan semangat pengurangan sampah yang kini tengah gencar dijalankan kabupaten/kota lewat gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Pemerintah pusat menetapkan syarat mutlak: PSEL hanya bisa berjalan jika pasokan sampah minimal mencapai 1.000 ton per hari selama 30 tahun. Syarat ini muncul karena proyek melibatkan PLN serta investor swasta yang menuntut kepastian suplai.
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menyebut aturan tersebut menjadi tantangan serius.
“Positifnya, semua sampah bisa langsung diproses jadi listrik tanpa harus dipilah. Tapi konsekuensinya, daerah harus komit menyiapkan 1.000 ton sampah setiap hari selama tiga dekade,” tegasnya saat ditemui di Kompleks Kepatihan, Kamis (2/10/2025).
Produksi sampah DIY saat ini tercatat lebih dari 1.400 ton per hari. Kota Yogyakarta menyumbang sekitar 300 ton, Sleman 400 ton, dan Bantul 700 ton. Jika digabung, angka ini memang mencukupi. Namun, menurut Made, perhitungannya tidak semudah itu.
“Sebagian besar sampah Sleman dan Bantul sudah dikelola melalui RDF, incinerator, hingga pemberdayaan masyarakat. Jadi tidak serta-merta semua bisa diarahkan ke PSEL,” jelasnya.
Kondisi inilah yang menimbulkan kontradiksi. Di satu sisi, pemerintah pusat mendorong PSEL sebagai solusi krisis sampah. Di sisi lain, daerah sedang serius mengurangi timbunan sampah lewat 3R, yang justru akan mengurangi suplai ke PSEL.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X turut menyoroti persoalan ini. Menurutnya, PSEL bukan satu-satunya jalan.
Ia mendorong agar sampah tetap diolah dengan beragam metode, termasuk biomassa untuk industri semen, RDF, hingga tawaran investor asing yang berminat mengubah plastik menjadi energi.
“Jangan semuanya diarahkan ke listrik. Kita perlu membuka opsi lain agar penanganan sampah lebih beragam dan berkelanjutan,” kata Sultan.
Jika DIY memutuskan ikut skema PSEL, maka semua daerah harus tunduk pada kontrak jangka panjang dengan setoran sampah minimal 1.000 ton per hari. Jika menolak, konsekuensinya lebih berat: DIY harus mandiri menanggulangi darurat sampah dengan sumber daya sendiri.
“Kalau ikut, semua sampah otomatis diarahkan ke listrik. Kalau tidak, ya kita harus menemukan cara mandiri mengatasi masalah sampah,” ujar Made.
Keputusan final terkait masa depan PSEL di DIY akan diputuskan melalui rapat bersama bupati/wali kota dalam waktu dekat. Targetnya, jika disepakati, proyek ini baru bisa berjalan pada 2028.
Polemik ini pun kini menjadi sorotan publik. Apakah Yogyakarta akan memilih jalan PSEL demi energi listrik dari sampah, atau tetap konsisten pada jalur 3R demi pengurangan sampah berkelanjutan? Jawabannya akan menentukan wajah pengelolaan sampah DIY di masa depan. (*)
Pewarta | : A Riyadi |
Editor | : Ronny Wicaksono |
Dokkes Polda Jatim Lakukan Pengumpulan DNA Keluarga Korban Reruntuhan Bangunan Ponpes Al Khoziny
Kejagung: Nadiem Makarim Masih Dibantar di Rumah Sakit
Kemkomdigi Tindak Konten Radikalisme di Dunia Digital Berdasarkan Aduan
Hari Batik Nasional, Siswa TK Belajar Membatik Khas Bondowoso
Kementerian Kesehatan Perketat Pengawasan Program MBG
KPU Bangka Tetapkan Fery Insani - Syahbudin sebagai Pemenang Pilkada Ulang 2025
Ole Romeny Nyaris Pulih, Timnas Indonesia Setia Menanti
Musim Hujan, Dinas PU SDA Jatim Percepat Pengerjaan Drainase di Suhat Kota Malang
Tribe Bali Kuta Beach Tuan Rumah Peluncuran ALL Accor Explore: Era Baru Loyalitas Perjalanan Premium
Teror Pocong di Majalengka, Warga Dihantui Isu Misterius Malam Hari