TIMESINDONESIA, TERNATE – 67 kepala keluarga di Kelurahan Ngade, Kecamatan Ternate Selatan, menghadapi ketidakpastian setelah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Ternate (PUPR Ternate) menghentikan pembangunan rumah di atas lahan kaplingan yang telah mereka beli.
Lahan seluas kurang lebih 30 hektare itu disinyalir bermasalah karena masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Konversi Tidak Produktif (HPKT). Status tersebut bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate, sehingga pembangunan dinilai tidak dapat dilanjutkan.
Dalam konferensi pers yang digelar Sabtu (8/10/2025), pihak pengembang bersama puluhan warga yang telah membeli kapling melayangkan enam tuntutan mendesak kepada pemerintah kota dan provinsi. Tuntutan itu antara lain:
Developer dan pemilik lahan diminta segera memfasilitasi penyelesaian persoalan ini.
Masalah harus diselesaikan secepatnya karena menyangkut hajat hidup banyak orang.
Pemerintah Kota Ternate diminta memberi perhatian dan mengambil langkah tegas.
Pemkot didesak merevisi RTRW agar kawasan HPKT dapat dikonversi menjadi permukiman.
Wali Kota dan Sekda diminta menegakkan asas persamaan hukum dalam penanganan kasus.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya Gubernur Sherly Laos, diharapkan turun tangan menyelesaikan persoalan.
Muhammad Fadly Dama, pengembang yang menjual kapling kepada warga, mengaku bingung dengan penghentian pembangunan. Ia menyebut telah memasarkan sekitar 67 kapling selama enam bulan berdasarkan kesepakatan dengan pemilik lahan pertama, Nurjaya Nesi.
“Saya berani menjadi developer karena penguasaan dan pemanfaatan tanah berstatus jelas sejak 1985. Ada surat keterangan tidak sengketa dari Kelurahan Ngade, nomor 599/04/2024,” tegas Fadly.
Ia menambahkan, status lahan tersebut tidak bermasalah di ATR/BPN maupun di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ternate–Tidore. Menurut Fadly, persoalan muncul dari penafsiran RTRW oleh PUPR Kota Ternate yang menempatkan area itu dalam kawasan hutan.
Fadly juga mengutip pernyataan Kepala KPH Ternate–Tidore, Ibrahim Tuheteru, S.Hut., yang menyebut kawasan itu bukan hutan lindung, melainkan HPKT—kategori yang dapat dikonversi menjadi area permukiman jika regulasi tata ruang direvisi.
Fadly menilai ada ketidakadilan dalam penegakan aturan tata ruang di Ternate. Ia menyoroti adanya permukiman lain yang berdiri di atas kawasan hutan lindung dan memperoleh sertifikat resmi.
“Kalau lokasi kami dianggap kawasan hutan, bagaimana dengan permukiman lain yang sudah mendapat sertifikat dan berdiri di atas hutan lindung? Masyarakat di Ngade juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Kami meminta Pemkot Ternate mengedepankan asas persamaan hukum,” ujarnya.
Fadly berharap pemerintah kota maupun provinsi segera memberi kepastian atas nasib warga yang telah membayar lunas kapling dan siap membangun rumah. (*)
| Pewarta | : Haerun Hamid |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Reno Komunikasi Terakhir dengan Keluarga, Minta Uang 50 Ribu
Wow, Lisa BLACKPINK Dincar untuk Peran Rapunzel
Messi Antar Inter Miami ke Semifinal Timur, Tinggal Tiga Kemenangan Menuju Gelar MLS Cup
Semarak Malam Festival Indonesia di Atlanta Georgia
Jalan Sehat Sarungan Santri Fun Walk #6 Jadi Tradisi Ikonik HSN di Kota Malang
Rowan Atkinson Hangatkan Natal Lewat Series Man vs Baby
Data dan Fakta Proyek Monumen Reog Ponorgo yang Diselidiki KPK
Konsultasi Memori Kolektif Bangsa, Inisiasi Ikon Sejarah Hamid Rusdi di Kabupaten Malang
Sang Pahlawan: Siapa Dia dan Apa Kontribusinya?
Gempa Bumi Tektonik Magnitudo 3,1 Guncang Wilayah Majalengka