TIMESINDONESIA, MALUKU UTARA – Perdebatan publik soal usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto kembali mencuat. Bukan sekadar soal penghargaan, melainkan menyentuh ranah moral, sejarah, dan nurani bangsa.
Bagi sebagian kalangan, wacana ini terasa seperti penodaan terhadap nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri sebuah tindakan yang mencederai ingatan kolektif bangsa atas luka panjang Orde Baru.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan menegaskan bahwa penerima gelar pahlawan nasional harus memiliki integritas moral dan keteladanan. Tidak hanya dalam politik dan ekonomi, tetapi juga dalam tanggung jawab kemanusiaan dan keadilan terhadap rakyat.
Selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya (1967–1998), Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi. Namun di balik stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang kerap dijadikan alasan pembenaran, tersimpan sisi gelap kekuasaan yang menghisap hak rakyat.
Laporan Transparency International tahun 2004 bahkan menobatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penyelewengan dana publik mencapai 15–35 miliar dolar AS setara Rp240–560 triliun saat ini.
Rezim Orde Baru juga menorehkan catatan kelam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dari pembantaian massal pasca 1965, Tragedi Tanjung Priok 1984, operasi militer di Aceh, Timor Timur, hingga penembakan misterius (Petrus), semuanya menyisakan duka yang belum tertuntaskan hingga kini.
Mengutip Hannah Arendt, apa yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan wujud dari “banalitas kejahatan” ketika kezaliman dijalankan secara sistematis dan dianggap normal oleh aparatus negara.
Pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah bentuk penormalan atas penindasan. Ia mengaburkan batas antara pelaku dan pahlawan, antara kejahatan dan kebajikan.
Dalam pandangan filsafat antropologi, manusia adalah makhluk bermartabat yang berhak atas kebebasan dan keadilan. Ketika kekuasaan digunakan untuk menindas dan merampas hak hidup orang lain, maka yang dilukai bukan hanya tubuh manusia, tetapi juga martabat kemanusiaannya. Rezim Soeharto gagal menjaga prinsip dasar itu.
Franz Boas, tokoh antropologi, pernah menekankan bahwa relativisme budaya tidak boleh dijadikan alasan untuk menormalkan ketidakadilan. Sementara Aristoteles berpendapat: “Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.” Dalam konteks ini, keadilan bagi korban pelanggaran HAM jauh lebih mendesak ketimbang penghargaan bagi pelaku kekuasaan.
Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan hanya bentuk ketidakadilan sejarah, tetapi juga luka baru bagi para korban yang tak pernah mendapat pengakuan dan pemulihan.
Perempuan korban kekerasan 1998, aktivis yang diculik, masyarakat Papua dan Timor Timur, semuanya seakan dihapus dari ingatan bangsa jika wacana ini diteruskan.
Penganugerahan gelar pahlawan pada sosok dengan rekam jejak kelam adalah bentuk pembungkaman memori sejarah. Ia membuat generasi muda tumbuh dalam ilusi sejarah yang terdistorsi di mana pelaku kekerasan dimuliakan dan korban dilupakan. Itu bukan sekadar kesalahan moral, tetapi juga kesalahan pendidikan sejarah nasional.
Bangsa yang menutup mata pada masa lalunya akan kehilangan arah moral di masa depan. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan justru memperlebar jurang antara keadilan dan kebenaran, antara sejarah dan propaganda.
Gus Dur pernah berkata, “Jasa Pak Harto besar, tapi dosanya juga besar. Kita bisa memaafkan, tapi tidak untuk dilupakan.” Kalimat itu menjadi penutup yang adil bagi perdebatan ini. Mengakui jasa tidak berarti menghapus dosa. Memaafkan tidak berarti melupakan kebenaran sejarah.
Soeharto adalah bagian penting dari perjalanan bangsa, namun bukan simbol kepahlawanan. Pemberian gelar pahlawan kepadanya sama saja dengan menodai makna perjuangan sejati yakni perjuangan untuk kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan.
***
*) Oleh : Sahib Munawar, S.Pd,I., M.,Pd., Akademisi, Pegiat Filsafat dan literasi Maluku Utara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Arab Saudi Gelar Forum Sejarah Haji dan Dua Masjid Suci di Jeddah
KPK Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh, Diduga Ada Tanah Negara Dijual ke Negara
Cegah Penyelewengan Pemerintah Kalurahan, DPRD Gunungkidul Tekankan Peran Pengawasan Bamuskal
Dapur MBG Puri Gading Dadapan Banyuwangi Perbaiki Pengelolaan Sampah Usai Dikeluhkan Warga
KH Iskandar Sulaiman, Pejuang dan Imam Tentara dari Kota Batu
Sultan Tidore Ke-37 Zainal Abidin Syah Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional
DPRD Gresik Ajak Pelaku Usaha Perikanan Manfaatkan Teknologi Digital
Foto dan Nama 15 Pejabat di Bondowoso Digunakan Penipuan, Modus Minta Transfer Uang
Peringati Hari Pahlawan, 10 Ribu Pelajar Semarang Bentangkan Merah Putih 1.945 Meter
Kapal Feri Raas Kerap Rusak, Saipur Rahman Minta Pemkab Sumenep Tak Hanya Janji